Lima Belas [Kematian Sang Penolong]

489 158 10
                                    

Saat aku tersadar dalam posisi terduduk, aku mendapati tubuhku mengenakan pakaian babydoll berwarna oranye. Aku melihat jam dinding, pukul 12.25. Ajaibnya, dr. Jihan masih ada di kamar yang sudah sedikit rapi. Sedikit saja pada bagian baju yang semula bertebaran, kini terlipat di dalam almari. Masih ada beberapa helai pakaian tertinggal, seolah menjadi bukti bahwa ada sisi baik yang pernah terjadi selama aku tertidur.

"Waw!" gumam dr. Jihan. "Vanny? Apa itu kamu?"

Aku mengangguk - anggukan kepala kecil dengan pandangan masih menerawang ke mana-mana.

"Ternyata, Natasya adalah anak yang penurut."

"Apa ... dia lucu seperti yang diceritakan ibu?"

"Yah, cukup menghibur. Dia juga pandai memanfaatkan orang lain." Dr. Jihan memisahkan bokongnya dari kursi tunggal untuk mengambil kamera. Menonaktifkannya. "Sejauh ini, saya sudah bicara dengan mereka bertiga. Mungkin, saya perlu bicara lagi dengan mereka beberapa hari ke depan, tampaknya ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan dan ada beberapa yang masih bersembunyi."

"Direncanakan?" Aku membeo.

"Tidak usah terlalu kamu pikirkan, itu masih asumsi saya saja. Soal Melani, kamu tidak perlu takut lagi, dia sudah berjanji padaku untuk tidak menyakitimu."

"Melani berjanji? Itu ... terdengar tidak masuk akal," sangkalku.

"Tidak, Vanny. Satu hal yang kamu belum tahu tentang Melani, dia adalah pribadi yang berprinsip dan tidak pernah berdusta. Aku percaya padanya, dia pemilik karakter yang sangat kuat dan bisa melindungi kamu."

Aku mengembuskan napas lega mendengar penuturan dr. Jihan sebelum aku teringat akan sesuatu. "Tapi ibu? Melani sangat membenci ibu bahkan pernah hampir membunuh ibu."

"Kepribadiannya hanya sedang tidak stabil waktu itu karena trauma kamu luar biasa mengejutkannya. Dia meminta maaf, aku akan menyampaikannya pada bu Hafni nanti."

Aku ingat, tentang direct message yang kubaca sebelum percobaan pembunuhan itu terjadi, aku begitu gemetar ketakutan. Pesan teror itu, memang tidak pernah lagi muncul, tetapi tetap saja—

Astaga! Tiba-tiba aku juga ingat soal secarik kertas yang dituliskan Rama untukku dan juga—pesan teror itu. Kalimat itulah yang menjadi trigger bagi Melani untuk keluar hingga terjadi kekacauan di dalam kamarku.

"Aku akan memberimu resep obat anti-depresan dan anti-psikotik. Tapi tetap, lima hari ke depan, kamu harus datang ke klinikku." Ia memberikan kertas bertuliskan resep obat padaku. "Kamu harus meminumnya untuk mengurangi rasa sakit kepala dan juga kecemasan. Saya rasa kamu sudah paham soal aturan minumnya."

"Umm ... dok, soal—"

Aku hendak mengungkapkan sesuatu soal pesan teror yang entah sudah berapa kali menghantuiku, tetapi entah mengapa, lidahku kelu bahkan untuk sekadar membuka mulut pun aku sulit. Alhasil, tak ada satu kata pun keluar dari mulutku kecuali helaan napas yang meragu.

"Ya, Vanny? Ada yang ingin kamu ceritakan?" tanya dr. Jihan

Aku berpikir, mengalihkan pembicaraan. "Umm ... Bu – bukannya ... klinik dokter ada di Pekanbaru?"

Dr. Jihan tersenyum. Di sana aku melihat sesuatu yang sangat nyaman bertengger di antara lekuk-lekuk wajahnya. Semacam peredam rasa sakit yang abstrak. Seandainya sejak lama aku bertemu dengannya, mungkin kondisiku tidak sampai seburuk ini.

"Saya baru saja membuka klinik baru di Jakarta, dan saya akan lebih banyak jam konsul mulai sekarang. Kamu bisa menghubungi saya jika ingin bertemu." Dr. Jihan menyiapkan segala keperluannya, menyandang tas kulit mahalnya. "Hasil pertemuan hari ini akan saya kirim ke email kamu. Saya pulang dulu."

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang