Sebelas [Gegai]

547 159 10
                                    

"Eh ... eh!" Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahunan tiba-tiba menghampiriku dengan langkah tergopoh-gopoh. Kedua tangannya memegangi bahuku. "Kamu jatuh!"

Pandangan mataku terasa seperti tampilan lukisan berbayang. Aku menemukan diriku berlutut di atas lantai koridor, di depan pintu apartemenku. Kepalaku terasa pusing bagai ditekan-tekan. Aku melihat ke sekeliling, koridor yang sunyi, langit-langit dengan pencahayaan menyilaukan, juga aroma parfum yang terasa gatal di hidung.

"Ivanka? Kamu baik-baik saja?"

Tampaknya kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Wanita itu membantuku berdiri, namanya Kusuma, aku biasa memanggilnya Eyang Suma dan dia adalah tetangga sebelahku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

Ah, bukankah itu pertanyaan bodoh? Aku pasti baru mengalami amnesia, tertidur di bawah alam sadar tubuhku sendiri. Entah siapa yang mengambil alih diriku sebelumnya. Aku tidak ingat, tentu saja aku tidak pernah bisa mengingat. Aku hanya tahu, aku sedang duduk bersama Zack di acara Aldero Talk Show lalu mendadak kepalaku sakit, aku tertidur tanpa tahu apa yang terjadi selama—

"Jam berapa ini?" tanyaku pada Eyang Suma.

Wanita ini masih memegangi lenganku seakan-akan takut aku terjatuh lagi. Ia melihat jam tangan berwarna keemasannya kemudian memberitahu, "Jam Sebelas. Bukannya tadi kamu live di Aldero Talk Show?"

"Iya. Seharusnya."

"Seharusnya bagaimana maksud kamu?" Suara Eyang Suma santun. Aku melihat tatanan rambutnya yang kurasa baru saja disemir sore tadi, wajahnya masih berias dan lipstick di bibirnya itu masih utuh. Mungkin ia baru pulang arisan atau pesta.

"Ee ... enggak, Eyang." Aku membuka scarf yang entah bagaimana caranya berubah menjadi kerudung yang membungkus kepalaku. "Eyang ... Terima kasih sudah membantu. Tampaknya Iva butuh istirahat."

Eyang Suma tersenyum, lalu menepuk pundakku lembut. "Saya terkejut lihat kamu tiba-tiba jatuh, saya pikir kamu mabuk. Pasti kamu kecapean, ya?"

"Kurasa begitu."

"Ya sudah, kamu istirahat. Selamat malam, gadis cantik," pujinya bersama dengan jemari yang menyolek pipiku.

Begitu aku masuk, kulihat Eyang Suma sedang menempelkan ponselnya ke telinga kemudian berjalan ke arah apartemennya.

Apa saja yang terjadi selama Melani atau—entahlah—aku tak mampu berpikir terlalu banyak. Lebih tepatnya, aku mengabaikan itu sejenak. Aku mencampakkan scarf yang menggerahkan itu ke atas kursi tunggal. Apa yang terjadi padaku, semakin membuat diriku tampak bagai orang yang terombang-ambing di udara. Terkadang kemampuanku untuk mempertahankan diri menghilang dengan cara yang tidak masuk akal. Jika sudah terjadi begini, biasanya aku mengabaikannya, biasanya aku mengalihkan kegiatanku pada hal yang bersifat menghibur. Itulah sebabnya aku bermain musik.

Namun aku tidak tahu apakah identitasku yang lain juga memiliki keahlian yang sama denganku dalam bermain musik. Setahuku, Melani hanya pandai bernyanyi. Karakternya yang kasar dan nekat barangkali menjadi bahan dasar bagi dirinya untuk bereksperimen. Dr. Jihan pernah bilang kalau Melani adalah identitas yang suka menunjukkan kekuasaan dirinya pada orang lain. Ia tidak ingin ada satu saja orang yang menganggap dirinya lemah, ia suka mencari perhatian orang-orang dengan cara yang tidak akan pernah disangka-sangka. Baik atau kejamnya ia pada orang lain, tergantung bagaimana cara ia melihat mereka.

Sebelum kuputuskan untuk tidur, aku membersihkan tubuhku. Mandi dengan shower yang memancurkan air hangat. Lega, dan rasa sakit di kepalaku berangsur hilang. Kupikir, setelah aku mengalami kejadian yang terlupakan, aku bisa tertidur setelahnya, tetapi nyatanya aku mengandalkan pil tidur itu lagi. Sebelum obat itu benar-benar memengaruhi otakku, aku memeriksa sosial media. Barangkali aku bisa mendapat jawaban dari sana.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang