Sembilan [Sang Ajudan]

606 164 11
                                    

Hanya waktu ... hanya kamu ...

Pengalih duniaku ...

Aku berada di bait terakhir lagu saat rekaman hampir usai. Di luar studio—atau yang terkadang disebut ruang hidup—David memberitahu menggunakan bahasa isyarat bahwa ponselku berdering berkali-kali. Aku pun keluar dan menerima ponselku dari tangan David.

Mungkin ada kabar baik dari Riska. Gadis itu bicara di seberang teleponku dengan nada biasa perihal keadaan ibu. Ia tidak lagi marah, dan aku bersyukur ia bisa bersikap baik padaku.

"Apa yang harus kulakukan, Va? Ibu menolak untuk pulang," ungkapnya dengan nada rendah, terdengar kecewa dan putus asa. "Ibu masih ingin di sini, Katanya, beliau tidak akan pulang sebelum memastikan kamu baik-baik saja. Ia memintamu untuk mendatangi dr. Jihan, kamu harus konsultasi."

Di ruang tunggu studio rekaman, aku mengambil sudut yang orang lain tidak dapat mendengar apa pun yang kusuarakan. Aku mulai gusar manakala keputusan untuk tidak melindungi diri diambil oleh ibu.

"Aku belum bisa, Ka. Aku minta maaf. Banyak hal yang harus kuselesaikan. Aku baru saja menyelesaikan rekaman terakhir untuk albumku. Setelah itu, aku harus konser tunggal, Talk Show, iklan, pemotretan, dan—"

"Dan kau tidak peduli dengan ibu?"

Aku terdiam, menyadari kesalahan atas kalimatku yang terkesan membenarkan anggapan Riska. "Bukan, bukan begitu, Ka."

"Kamu pikir apa yang selalu menjadi pikiran ibu sampai sekarang ini? Ia memikirkanmu, memikirkanmu dan selalu memikirkanmu bahkan aku mempertanyakan apakah ibu memikirkanku seperti halnya ia memikirkanmu. Sementara kamu sibuk dengan kegiatan keartisanmu itu."

"Riska, please ... aku tidak seperti yang kamu katakan. Aku tentu sangat mengkhawatirkan ibu. Kamu mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana rasa bersalah ini terus menggangguku, kamu tidak tahu bagaimana rasanya tidak bisa dekat dengan ibu. Kumohon, Riska ... jangan membuatku semakin terpuruk karena anggapan-anggapanmu itu."

Tarikan napas Riska terdengar beriak, ia kembali bicara. "Kalau begitu aku mohon padamu. Temuilah dr. Jihan, bicara padanya dan sembuhkan dirimu. Aku bicara seperti ini karena aku juga menyayangimu, hanya saja terdengar sedikit kasar. Tapi percayalah aku sangat ingin kamu sembuh, Vanny. Pikirkan dirimu, pikirkan orang-orang yang menyayangimu, pikirkan ayahmu."

Ayah? Entah kapan terakhir kali aku mengucap kata itu. Aku tidak ingat. Aku sama sekali tidak ingin mengingat. Ada banyak hal di masa lalu yang berkaitan dengan ayah. Tentang perangai buruknya yang menjadikan jiwaku terganggu seperti ini, tentang kebaikannya yang tampak sandiwara di mataku dan memang aku selalu berpikir demikian. Ayah tidak pernah mencintaiku, kenyataannya begitu. Sama sekali tak kuinginkan ayah pernah ada di kehidupanku meski pada dasarnya darahnya mengalir dalam tubuhku.

"Ayahku sudah meninggal dan aku tidak ingin mendengar kamu menyebutnya di depanku."

"Terserah kamu," sergah Riska. "Bicara kasar dan lembut sama kamu pun rasanya percuma. Aku tidak pandai membuat motivasi apalagi membujukmu, kalau bukan karena ibu yang menyuruhku meneleponmu, aku sendiri malas. Karena aku tahu jawaban seperti ini yang akan aku dapatkan. Ibu saja yang tidak pernah memercayaiku."

"Katakan pada ibu, aku akan mengunjungi dr. Jihan kalau waktuku benar-benar tepat. Aku hanya ingin menyelesaikan tanggung jawabku sebelum benar-benar berisitirahat. Ini tidak mudah, Ka ... sama sekali tidak mudah."

Di kejauhan, di balik suara Riska, aku mendengar ibu memanggilku.

"Ibu ingin bicara sama Vanny, Ka. Berikan handphone-nya pada ibu."

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang