Dua Puluh Empat [Jebakan Halus]

497 156 17
                                    

"Selama ini, semua orang menganggap aku menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri karena gangguan mental. Tidak ada satu pun yang percaya dengan kronologi yang kuceritakan. Tapi kalung ini, adalah bukti kalau malam itu si pembunuh telah meninggalkan jejaknya. Kalung ini tanpa sengaja kutarik dari lehernya saat aku melawan."

"Vanny? I – ini tidak mungkin." Rama tergugup.

"Tuhan selalu adil, ya? Bisa kakak jawab? Kenapa kalung milik Kak Rama ada padaku?" Aku memergokinya, tapi dengan senyum, tidak dengan raut wajah kekecewaan atau amarah. Dengan senyum, dengan keriangan tersendiri.

"Kamu ... menuduh Kakak yang melakukan itu?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya secara teknis bagaimana kalung kakak bisa dipakai si pembunuh, tapi bukti ini sudah sangat jelas, Kak."

"Rama? Apa benar yang dikatakan Vanny?"

Ayah mendekat, Marthin dan David juga mendekat, seakan siap mengepung Rama bila ia mencoba kabur.

"Bu – bukan aku, Om ... Aku bahkan tidak tahu di mana Vanny berada malam itu."

"Sampaikan saja alibimu!" Marthin memaksa.

Rama tergugup, ia memandangi kami satu persatu dengan raut wajah penuh kecemasan. Ia terkekang, tak bisa ke mana-mana. Sedangkan aku, berdiri di hadapannya dengan gelagat yang mulai bosan.

"Aku ada di rumah, sedang istirahat. Dan kalung ini, beberapa minggu sebelumnya aku kehilangan kalung ini. Seseorang pasti sedang menjebakku."

"Itu alasan kuno!" Marthin menarik kerah baju Rama, sebelah tangannya mengepal. Bagus sekali. "Kamu pakai cara apa sampai CCTV tidak bisa merekam pergerakanmu?! Kamu sudah merencanakan pembunuhan itu 'kan? Huh?! Keparat kamu!!"

"Marthin tenanglah!" David melerai. "Sebaiknya kita serahkan ini pada pihak yang berwajib. Konser lima menit lagi akan segera dimulai, sebaiknya kalian mempersiapkan diri."

Aku mengekang tangan Marthin, memintanya untuk melepaskan Rama.

"Dia sudah mencoba untuk membunuh kamu, Van ... apa kamu pikir aku akan diam saja?"

"Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan cara kekerasan, Marthin. Aku bilang lepaskan!"

Cengkeramannya pun terlepas. Rama menarik napasnya, membenahi setelan jasnya yang berantakan. Marthin mendengkus.

"Sejak aku menemukan kalung ini, aku tahu apa sebenarnya yang diinginkan si pemilik kalung. Kak Rama hanya ingin lebih dekat denganku." Aku memandangi wajah Rama, masih dengan senyum kecil yang sesekali menonjol. "Selama ini aku sering menjauhinya, mengabaikan pesannya. Mungkin ini cuma cara supaya aku memberi perhatian padanya."

"Vanny, apa maksud kamu? Dia sudah—" Protesan Marthin kupotong.

"Jangan ada satu orang pun yang menyerahkan Rama ke polisi." Mereka tercengang, wajahku menegas. "Ini akan menjadi urusanku dengan Rama. Lagipula ... aku sudah melupakan peristiwa itu. Kenyataanya tidak terlalu penting untuk mengingat – ingat."

"Vanny, percayalah, bukan Kakak yang melakukan itu."

"Tak apa, Vanny ngerti, kok. Segalanya sudah membaik, Kak ... kupikir tidak ada lagi yang harus diungkit-ungkit. Vanny tidak akan menuntut Kak Rama."

"Apa yang kamu pikirkan, Van? Jelas – jelas Rama sudah menyakiti kamu. Kita harus melaporkannya pada polisi," desak Marthin. David juga mengatakan hal yang sama, hanya saja ia lebih mementingkan menit-menit yang berjalan.

"Ini urusanku! Tidak ada yang berhak memaksaku." Aku memandangi mereka satu per satu. "Kita ke panggung sekarang!"

Ayah memandang kecewa Rama saat aku meninggalkan mereka. Aku sudah mengungkapkannya, memberitahu pada semua orang bahwa aku tidak sedang sakit jiwa malam itu. Kini, dengan gaun dan dandanan terindah membalut tubuhku, aku menerpa cahaya panggung dengan penuh kemenangan.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang