Enam Belas [Percobaan Pembunuhan]

534 160 19
                                    

Empat belas hari menjelang konser tunggal, David memberiku jadwal manggung di sebuah event untuk mengisi acara grand opening sebuah tempat wisata di Bandung. Hanya dua atau tiga lagu, kupikir tidak terlalu masalah mengingat intensitas kemunculan pribadiku yang lain tidak sesering sebelumnya. Pil-pil itu membantuku banyak setiap kali sakit kepala dan kecemasanku datang. Tanda-tanda kehadiran mereka bisa kukendalikan meski terkadang tak sepenuhnya berhasil. Mungkin karena aku menghindar dari Zack, Melani jadi tidak terlalu nekat. Fatimah datang di dua malam, mungkin ia rindu membaca kitab Al-qur'an kesayangannya.

Aku sedikit cemas ketika David memberitahuku dua jam sebelumnya bahwa ia tidak bisa mendampingiku. Ia meminta maaf karena harus flight ke Solo untuk menjenguk kakak kandungnya yang sedang sakit parah. Sebagai gantinya, ia mengutus Kamal—asisten David— dan Rani untuk membantuku mempersiapkan segalanya. Ia juga sudah menyiapkan cottage yang ia peroleh dari selebaran brosur yang tergeletak di atas meja kerjanya untuk tempat kami menginap satu malam. Tempat yang bagus untuk me-refresh pikiranku katanya. Marthin mendapat jatah untuk mengawasiku juga, dan entah mengapa mendengar nama pria itu, aku selalu merasakan aman di sekujur tubuh.

Selain Ivanka, ada dua band lain yang mengisi acara hiburan. Di balik panggung, saat di mana aku menunggu giliran, aku merasakan kecemasan soal bagaimana performa Ivanka nantinya. Aku takut Melani mengambil alih seperti yang pernah ia lakukan di berbagai acara.

Aku menyandarkan punggungku pada dinding ketika Marthin menghampiriku, mungkin ingin memastikan bahwa Vanny masih menyatu dengan Ivanka. "Apa ada masalah?" tanyanya.

"Tidak. Aku cuma ... khawatir soal—yah, kamu tahu yang kumaksud?"

"Melani?"

Aku memutar bola mata. Sudah kuusahakan agar aku tidak menyebut namanya, Marthin malah menyebutnya secara terang-terangan. "Astaga, Marthin ... aku sudah bilang jangan sebut namanya."

"Oh, maaf, aku refleks saja," ujarnya. "Apa kamu sudah meminum obatnya? Mungkin itu akan membantu mengurangi kecemasanmu."

Terkadang Marthin selalu benar dan aku suka ia menunjukkan saran itu. Aku mengambil tas dari tangan Rani, menyuruh gadis itu pergi sebentar lalu mencari tube berisi obatku di dalam. Di detik yang lumayan panjang, aku bertanya-tanya tentang tube-tube itu. Pasalnya, tak ada satu tube pun yang kutemukan di sana kecuali barang-barang formalitas pribadiku.

Marthin membaca ekspresi ketidakmengertianku lalu berkata, "Jangan bilang kamu lupa membawanya."

Aku mendongakan wajah ke padanya, mengerutkan kening dengan tangan yang masih berkelana di dalam tas. "Kurasa aku benar-benar melupakannya. Aku tidak ingat di mana aku menaruhnya, tapi ... sepertinya aku yakin tidak memindahkannya ke mana pun."

"Cukup ceroboh untuk gadis sepertimu," celetuknya.

"Diamlah! Aku ... astaga!"

"Kenapa? Kamu ingat sesuatu?"

"Mungkin tertinggal di apartemen."

Marthin melengkungkan bibirnya ke bawah, bahunya naik. "Lima menit lagi, dan kalaupun benar obatmu tertinggal di apartemen, kita tidak punya waktu."

Wajahku tertunduk, meneliti lantai marmer di bawah kakiku seolah berharap secercah ilham muncul dari sana. Lima menit lagi. Aku memang tak memiliki kesempatan sebesar itu, tapi aku tidak melupakan siapa yang ada di dalam apartemenku.

"Ibu ada di apartemenku. Aku akan meminta bantuannya untuk memeriksa kamarku."

"Apa kamu lupa kita akan menginap di cottage malam ini?" Marthin memberitahu.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang