Dua Puluh Dua [Step by Step]

530 157 24
                                    

"Tiga hari lagi menuju konser tunggal Ivanka, menurut Mas David, apa acara ini bisa sukses? Bukankah ini konser tunggal pertama Ivanka?"

David dikerumuni reporter begitu keluar dari dalam mobil. Sedikit kewalahan."Ya ... semua tiket sudah terjual habis. Persiapan juga sudah rampung, tinggal gladi bersih dua hari, dan selanjutnya ...mohon doa dari temen-temen juga supaya acaranya sukses."

"Terkait dengan penyakit DID yang diderita Vanny, apa benar kalau Ivanka yang selama ini kita kenal sebagai penyanyi merupakan kepribadian Vanny yang lain?"

"Maaf, saya tidak bisa menjawab itu."

"Kami dengar info terakhir, kabarnya Vanny dirawat di rumah sakit jiwa ya, Mas? Makanya belakangan ini Vanny tidak pernah kelihatan."

"Itu tidak benar, kalian termakan hoaks."

"Tapi, Mas—"

"Yang jelas sekarang Ivanka sedang istirahat untuk mempersiapkan staminanya, dia harus banyak latihan dengan temen-temen band juga. Pokoknya semua sedang kami persiapkan supaya acaranya sukses dan penonton yang udah beli tiketnya nanti tidak kecewa. Itu saja."

Aku menyesap kopi, duduk di sofa tunggal, menyilakan kaki di depan tivi. Kulihat, David berupaya pergi setelah berdesak-desakan dengan para reporter itu. Aku menyunggingkan bibir kecil melihat kerumunan orang-orang yang taunya hanya termakan berita hoaks.

Di dalam kamar, aku menonton tivi yang menayangkan program infotainment—lebih dari satu channel tivi—yang membahas berita-berita miring soal Ivanka sejak empat hari lalu, sejak kabar bahwa Ivanka adalah artis yang mengidap kelainan mental tersebar ke mana-mana.

Lagi, aku menyesap kopi latte hangat buatanku sendiri. Memikirkan, merenungkan semua yang telah kami rundingkan bersama. Ada rencana-rencana matang yang telah disusun. Kami punya seorang ahli pengamat politik, yang meskipun bukan ahli dalam ilmu perang, paling tidak ia tahu cara bijak menjatuhkan seseorang. Namanya Jerome, lelaki berusia tiga puluhan yang selalu malas berolahraga.

Ada banyak fakta-fakta menarik. Aku sudah terlalu banyak menyembunyikannya di balik telinga, menenggelamkan setengah tubuhku untuk tidak terlalu kentara. Kini, saatnya pertunjukan itu dimulai. Ini akan lebih matang, lebih sempurna, lalu segala hal yang berkaitan dengan kejatuhan reputasi Ivanka akan menjadi sebuah titik balik.

Jerome bilang, untuk menyingkap sebuah tabir, berpura-puralah menjadi tabir itu sendiri. Aku mencoba memahami kalimat si politikus, tidak dengan Melani yang hanya mengandalkan emosi dan otak terbatas, aku tak perlu mengartikannya dengan proses rumit. Ah ya, sejauh ini, kami sudah berbagi tugas. Sejauh ini juga, aku bangga menjadi seorang leader setelah melalui perdebatan rumit.

Dalam dua puluh empat jam, aku mendapat lima belas waktu untuk menjadi diriku sendiri. Aku—seperti yang sejak dulu diimpikan oleh host—mendapat kehormatan untuk menjadikan sosok Ivanka lebih nyata. Tentu segala konsekuensi sudah kutanggung, sebagai karakter yang berpotensi besar membangun hubungan sosial lebih baik dari yang lain, aku bertanggung jawab memperbaiki nama baik kami.

Vanny— tidak sedang menunggu.

Aku berjalan ke dapur, membuka lemari es dan mengambil sekotak susu. Seseorang ternyata sudah lebih dulu berada di sana. Seorang pria, bertubuh tinggi dan berambut cepak, berdiri memainkan van penggorengan kemudian menoleh padaku.

"Halo, Sayang? Hampir saja ayah ingin membangunkanmu." Ia memainkan spatulanya untuk membolak balikkan sosis goreng, melirikku lagi. "Sarapan? Kamu mau ayah masakkan sesuatu?"

Aku menanggapinya dengan tersenyum. Semacam senyum sapaan good morning.

Apa cara ini sudah benar? Katakan sesuatu!

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang