Sepuluh [Cerita Palsu]

545 172 20
                                    

Di dalam mobil, dengan tartan scarf yang mengerudungi kepalaku, membungkus hampir semua tubuh bagian atas, aku merilekskan badan dan menyerahkan belakang kepala di sandaran jok. Mataku sesekali memperhatikan pria yang sedang mengemudikan mobil. Ia menoleh padaku sejenak kemudian kembali melihat jalanan malam yang dipenuhi lampu-lampu kota.

"Aku Marthin," ucapnya.

Aku sudah tahu dan aku hanya mengulum senyum kecil. Saat kulihat lengan kirinya yang berbalut perban dan bibirnya sedikit pecah itu tampak perih, wajahku menunduk malu. Walau itu bukan hasil perbuatanku, ada rasa malu menghinggapi terlebih saat mengingat Marthin menjerit kesakitan dua jam yang lalu. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah tangannya baik-baik saja?

"Terima kasih sudah menolongku," ucapnya lagi. "Boleh aku tahu namamu?"

"Fatimah," jawabku sambil membenahi kerudung yang meski seadanya, paling tidak auratku tidak terbuka di depan lawan jenis.

Marthin tersenyum, bicara dengan pandangan fokus pada jalanan dan mungkin sedang menahan rasa sakit pada lukanya sendiri. "Fatimah, Ivanka beruntung memiliki kamu."

"Namanya Vanny, Vanny Marhein," ujarku mengoreksi.

"Ya, Vanny ... tapi aku lebih mengenalnya sebagai Ivanka."

"Maaf, saya hanya ingin meluruskan. Tapi—"

"Jangan katakan! Aku bilang jangan katakan apa pun, Fatimah!"

Kalimatku terjeda panjang manakala suara Melani tiba-tiba membuatku membisu. Hal yang kupikir bisa membantu Vanny, ternyata tidak mendapatkan wewenang dari Melani. Aku tahu dia bertindak sebagai . pemimpin di sini, aku tahu, kami tahu. Sejauh yang kuperhatikan selama Vanny dekat dengan Marthin, pria ini baik dan terlihat sangat tulus membantu. Barangkali ia bisa bekerja sama dengan bu Hafni untuk membebaskan Vanny dari sosok Ivanka. Membuat ia tidak terlibat jauh dengan dunia keartisan yang tak ayal semakin memperparah keadaan psikologis gadis tersebut. Sudah kuduga, Vanny telah salah langkah sejak awal.

"Tapi kenapa?" Marthin menggugah saat kejanggalan pada diriku mungkin membuatnya penasaran dengan kalimatku.

"Tidak ... tidak apa-apa. Maaf."

"Ada sesuatu yang ingin kamu beritahu?" Aku menggeleng. Menundukkan wajah. Entah mengapa sifat engganku ini tidak bisa dikondisikan sementara Marthin terus-terusan mencuri pandangannya terhadapku. "Fatimah? Kamu ini, ternyata sangat pemalu." Dan ia pun meringis tawa. "Aku sempat terkejut dengan pengakuan Ivanka bahwa ia adalah pengidap gangguan kepribadian. Sebenarnya hampir tidak percaya, tapi ketika aku melihat perubahan mendadak dirinya saat wawancara Aldero Talk Show tadi, aku ... mulai tahu. Jauh lebih terkejut ketika mengetahui bahwa tak hanya Melani yang menempati tubuh Ivanka, tapi juga kamu, Fatimah."

Sirine mobil ambulans yang lewat menjedakan omongan Marthin. Aku masih menunduk memandangi tanganku yang sibuk meremas pucuk kain scarf yang menjuntai di atas perut.

"Apa Ivanka sudah tahu mengenai kamu?"

Tidak. Tidak ada selain kami para identitas. Tidak ada kecuali Marthin, atau mungkin Bu Hafni nantinya jika Marthin menceritakan semua yang terjadi dua jam yang lalu ketika Melani mendadak muncul di tengah-tengah acara.

Seperti yang diketahui, Melani selalu menjadi yang paling berkuasa dan ia bisa muncul kapan saja kapan pun ia mau. Saking terobsesinya ia dengan aktor film horor itu, Melani berani memperlihatkan sisi liar dirinya melalui sosok Ivanka.

"Tapi Ivanka beda. Dia benar-benar beda dan aku—" Melani dengan cepat menyembunyikan Vanny ketika tatapan mata Zack mengubah persepsinya, seolah tidak sabar dengan apa yang akan diungkapkan Zack. "—aku sangat mencintai Ivanka," lanjut Zack.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang