Delapan [Secangkir Cokelat Panas]

698 168 8
                                    

Sejauh ini, semuanya baik-baik saja. Aku menyadari diriku sendiri sepenuhnya sampai rapat penting pertemuan dengan sponsor dan promotor hampir berakhir. David bertindak sebagai penguasa forum terbaik sepanjang pertemuan, dan aku lebih banyak diam mendengarkan sambil menggigiti kuku ibu jariku.

Suara mereka bergantian, diskusi yang panjang, dan aku hampir tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan kecuali suara Rama yang terus melolong di dalam kepalaku.

"Lama tidak bertemu, Vanny."

Kalimat itu terus terngiang. Terus membayang bagai bayangan diriku sendiri. Yang kutahu, Rama adalah satu-satunya orang yang kucurigai sebagai orang yang mengirimkan direct message di Instagram waktu itu. Satu-satunya orang yang patut aku salahkan karena tindakan tak manusiawi yang membuat egoku kacau tak keruan. Aku memang tidak sepenuhnya bersumpah untuk membuat perhitungan atau mengutuk dirinya hidup-hidup, tetapi ia berada satu langkah di depanku. Sangat dekat. Namun mengapa kecemasan itu menyerang setiap kali ia menunjukkan diri di depan mataku?

Apakah itu wajar? Dalam satu kasus khusus, kurasa Rama akan menjadi orang tunggal yang akan terus membuatku gugup seperti itu bahkan untuk masa yang aku sendiri tak tahu kapan harus memberanikan diri. Jati diriku menghilang selama beberapa detik, ketegasanku meragu dan membaluri dadaku bagai perisai khayalan.

Rama tidak berarti apa-apa dalam hidupku saat ini. Ia hanya terlalu berarti dalam hidupku beberapa tahun yang lalu. Ketika untuk kali pertama, ia menjadi satu-satunya orang yang peduli padaku setiap kali aku menghabiskan waktu di sudut remang Laras Café.

Dulu, ketika usiaku dua belas tahun dan hubunganku dengan ayah membaik secara drastis, ayah selalu membawaku turut serta bila ia bekerja sebagai pengisi acara hiburan bersama teman bandnya. Ia akan membiarkanku duduk di satu sudut dalam jangkauan pengawasan matanya dan aku akan menghabiskan waktu dari jam Tujuh malam sampai lima jam berikutnya untuk membaca buku, mengerjakan PR sekolah dan menikmati suara merdu ayah.

Lalu Rama akan menjadi sosok yang paling kutunggu.

Aku memperhatikan pergerakan gesit remaja pria yang tujuh tahun lebih tua dariku itu mondar-mandir melayani permintaan para pelanggan. Setiap ia berjalan melewati mejaku, lesung pipinya selalu menjadi yang termanis melebihi secangkir cokelat panas buatan Mas Andra-barista di café tersebut. Aku selalu menantikan di mana situasi sedikit lebih sunyi agar Rama punya waktu luang untuk duduk di depanku. Ia akan menghela napas sambil menaruh nampan perak perseginya di atas meja dan mengajakku bicara seperti orang yang sangat berharga.

"Apa cokelatmu masih panas?" tanyanya.

Aku tersenyum, tersipu dalam samar-samar. "Ya, ayah baru saja memberiku cangkir kedua."

"Ah, kebetulan sekali." Rama menyeret cangkir cokelat dari hadapanku lalu membawanya ke depan bibir. Meneguknya sampai tersisa setengah. Alih-alih merasa keberatan, aku justru senang melihat ia merasa lega selesai menelan dan menyesap sisa rasa di lidahnya. Bibirnya memerah, lalu tersenyum. "Cokelat buatan Mas Andra memang paling enak. Kamu setuju?"

Anggukanku tegas tanpa suara. Ujung pena kuketuk-ketuk di atas buku tulis yang terbuka. Penarik perhatian yang berhasil membuat mata Rama teralih.

"PR-mu sudah selesai?" Aku mengangguk lagi. Ia memanjangkan lehernya melihat buku tulis yang dipenuhi angka-angka. "Hei, kenapa tulisanmu jelek banget?"

Kutangkup kedua telapak tanganku menutupi tulisan dengan gelagat malu. "Jangan lihat!"

"Tapi aku sudah melihatnya, dan aku tahu kamu belum menyelesaikan soal fisika dengan benar." Keningku mengerut tanda heran. "Yah, aku memperhatikan jawabanmu saat sedang meneguk cokelat."

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang