Delapan Belas [Wajah tak Bernyawa]

496 154 28
                                    

"Vanny, coba ingat lagi. Bagaimana kamu yakin kalau orang itu adalah Vergian Zack?" tanya Iptu Karina lebih dalam.

"Aku ingat jaket merah berhoodie yang ia pakai, dia juga memakainya saat ingin membunuhku."

Marthin mengusap wajahnya dan menggeleng, dokter tua itu juga. Setidaknya, Ibu masih ada di sampingku mendampingi meski aku merasa ia juga menyimpan sesuatu.

"Kamu yakin?" tanya Karina lagi.

"Aku sudah bilang, Zack yang melakukannya."

"Kamu ingat jam berapa kejadian itu dimulai?"

Aku membasahi bibir dengan ujung lidah, berpikir, mengingat. "Sekitar jam setengah sebelas." Aku menoleh dan melihat Marthin. "Saat Zack menyakitiku, ponselku berbunyi. Marthin meneleponku tapi aku gagal menjawabnya untuk minta tolong."

"Seperti yang sudah saya ceritakan pada Iptu Karina. Saya menghubungi Vanny untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Lima kali, tapi tidak ada jawaban. Aku khawatir lalu kembali memeriksa keadaanya di kamar."

"Jam setengah sebelas?" Iptu Karina memastikan Marthin.

"Ya." Marthin memeriksa riwayat teleponnya lalu berkata, "Panggilan pertama pukul 22.45, satu jam setelah saya mengantarkan Vanny pulang. Umm ... maksud saya, mengantar Fatimah."

"Persis seperti yang tadi Anda ceritakan?" Marthin mengiakan lagi. Wanita berseragam yang mukanya dipenuhi dengan ketidakberdayaan mendengar itu mengesah. Ia menggeleng kecil, sedikit mundur. "Vanny, aku ingin kamu mengingat lebih detail lagi soal pertemuan kamu dua jam sebelumnya dengan Zack. Hal apa yang kalian bicarakan?"

Aku merasakan gatal di bagian pundak sehingga aku menggesek-gesekkannya dengan rahang. Seperti yang Karina minta, aku bercerita dimulai saat Zack menarikku dari kerumunan wartawan dan membawaku ke taman bersudut yang sangat sepi. Aku berupaya menceritakan apa saja yang kuingat, mencoba lebih detail sampai bicara soal hubungannya dengan dr. Jihan. Untuk menemukan titik terang kasus ini, aku sudah tak ingin lagi sembunyi-sembunyi. Toh juga ibu atau Marthin pasti sudah menceritakan soal penyakitku pada petugas kepolisian itu.

"Kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi sampai akhirnya tersadar di kamarku pukul 22. 30," ungkapku.

"Oke ... jadi, apa kamu tahu Fatimah yang mencuri dua jam berhargamu?"

Aku menggeleng. "Tidak. Aku selalu amnesia jika mengalami split, dan aku tidak tahu siapa yang mengambil alih kesdaranku."

Karina membasahi bibirnya. Beralih pada Marthin, orang yang ia pikir tahu segalanya tentangku. "Apa saja yang Fatimah lakukan selama dua jam itu? Anda bersamanya sepanjang waktu, bukan?"

"Aku pikir, Melanilah yang muncul sebelum Fatimah karena aku sempat melihat mereka bertengkar hebat. Mendadak, dia—maksudku, mungkin Fatimah—menangis dan pergi meninggalkan Zack lalu mencariku. Aku membawanya pergi, hendak mengantarnya pulang, tapi Fatimah mengajakku mampir sebentar ke masjid untuk sholat isya. Sekitar dua puluh menit berikutnya, aku mengantarnya membeli beberapa pakaian di sebuah butik. Setelah itu, aku mengantarnya ke cottage."

"Jam berapa sampai di depan kamarnya? Apa Anda masuk?"

"Tidak, Fatimah tidak pernah mengizinkaku masuk jika tidak ada orang lain di dalam. Kalau tidak salah, sekitar jam 21. 45."

"Sampai di jam tersebut, kalian belum dengar soal kabar Vergian Zack sama sekali?"

Marthin menggeleng lagi, memegang ujung bed-ku dengan kedua tangannya. "Aku tahu soal kabar Zack setelah sampai di rumah sakit. David yang meneleponku."

Karina memandangiku sesaat, helaan napasnya lebih terlihat seperti orang yang mengalami kerumitan akal.

"Apa tangan Vanny bisa dilepaskan? Dia sudah sadar, kasihan Vanny kalau terus diikat seperti ini," mohon ibu pada dokter yang saat itu sedang bicara dengan perawat.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang