Dua Puluh Satu [Pembunuhan Perdana]

479 155 12
                                    

"Lepaskan anakku!"

Teriakan ayah lantang dan penuh kewaspadaan. Mirza mencengkeram tanganku, sementara istrinya berubah menjadi penuntut yang mendukung ancaman suaminya pada ayah.

"Tidak sebelum kamu menarik tuntutanmu di pengadilan!"

"Apa lagi yang kalian inginkan? Belum cukup kamu melecehkan anakku dan sekarang kamu mengancam ingin membunuhnya? Lepaskan putriku, Keparat!"

Angin menerpa begitu kencang, meliuk-liuk tak kasat mata. Menerbangkan dedaunan, ranting-ranting pohon berderak dan beberapa patah, jatuh tepat di hadapan ayah. Malam itu, malam yang tak akan pernah bisa mengembalikan segalanya jadi lebih baik.

Ayah berusaha mendekat untuk merebutku kembali, tetapi golok di tangan Mirza membuat ayah tidak dapat melangkah barang satu inci saja. Ia terpaku di sana, menatapku nanar. Aku menangis. Terlebih saat melihat Rama muncul dari dalam mobil dan berdiri di samping ayah, aku semakin menangis tetapi pada pola yang sedikit lebih tenang. Ada Rama di samping ayah, semuanya akan baik-baik saja, aku berintuisi dalam hati.

Seorang pria yang merupakan pedagang buah pinggir jalan mendekap putrinya yang berusia sekitar enam tahun. Satu jam sebelumnya, sepasang suami istri gila ini menculikku dan membawa kabur menggunakan mobil. Ayah dan Rama yang terlambat mencegah mereka akhirnya mengejar. Aku tahu ayah tangguh dalam mengendarai mobil kecuali saat ia mabuk dan menewaskan bunda. Saat ayah berhasil mendahului mobil terkutuk milik Mirza, ayah berhenti mendadak di depan, mencegat kami. Mengambil kesempatan itu, aku membuka kunci pintu lalu keluar. Sayangnya, Della berhasil mengejar dan menyekapku. Si pedagang buah yang tak tahu apa-apa tentu saja kaget bukan main saat golok yang biasa digunakannya untuk membelah kelapa diambil begitu saja oleh Mirza.

Di sinilah kami sekarang. Di antara negosiasi rumit yang sampai kapan pun tidak bisa mendapatkan titik terang.

"Aku bilang, cabut tuntutanmu di kejaksaan atau aku akan membunuh putrimu!" Della—si istri pecundang yang mendadak jadi pengikut perbuatan keji suaminya—mendoktrin penuh ancaman.

"Kumohon, Mirza, lepaskan Vanny. Dia tidak bersalah, dia hanya anak kecil yang tidak mengerti apa – apa," bujuk ayah.

"Lagipula anak ini sudah tidak suci lagi, Darius ... untuk apa kamu memelihara anak yang nantinya hanya akan membuatmu malu."

Mirza tertawa. Lengkingan suaranya yang tak berdosa menggema di telingaku. Mengingatkanku akan perbuatan asusilanya yang tidak bermoral. Aku pernah dicengkeram, diperlakukan seperti boneka untuk menuruti nafsunya. Ingatan-ingatan itu membentuk klise-klise paradigma, menerjangku.

Untuk pertama kalinya, aku merasakan pandanganku tidak pada tempatnya. Aku tersedot dalam tubuhku sendiri. Sesuatu menyekat memori itu dan mengubahnya menjadi kekuatan melindungi diri. Aku tidak begitu yakin pada apa yang kulakukan, segalanya terasa seperti adegan film yang diputar dan kutonton.

Jerit ketakutan Della, suara daging-daging yang dibacok, cipratan darah, anak perempuan yang menjerit-jerit, air panas yang tumpah dan berasap-asap. Untuk beberapa menit yang singkat, aku tidak berada pada diriku.

Angin berputar-putar di sekeliling. Langit berkilat – kilat disusul gemuruh petir bersahutan. Begitu aku tersadar, hujan sudah turun sangat deras. Berderai-derai membasahi rambut, menutupi sebagian mataku. Napasku naik turun, bingung, merasa aneh, berdiri dengan tubuh sedikit limbung dan di saat itulah—aku melihat kekacauan.

Mirza tergeletak di tanah dalam keadaan leher tergorok, wajah dan dadanya dilumuri darah tetapi sedikit luntur karena tersirami hujan. Della tertelungkup tak bergerak, darah di bawah perutnya bercampur air hujan, mengalir ke dalam parit pembuangan limbah. Aku menoleh ke kiri, pria paruh baya si pedagang buah—yang terakhir kali kulihat memeluk putrinya—juga mati dalam keadaan mata masih terbuka dan mulut menganga. Pundak dekat lehernya berdarah dan aku tak tahu bagaimana luka itu tercipta. Di sebelahnya, anak perempuan yang merupakan putrinya tadi menggerak-gerakkan kepalanya. Sekarat. Wajahnya hancur. Sebuah bongkahan batu yang besarnya tiga kali lipat kepalan tanganku sudah bernodakan darah, teronggok di samping kepalanya.

Aku menyapukan pandangan, memperjelas. Kulihat ayah mendekatiku hati-hati. Aku bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang telah terjadi. Mengapa ayah terlihat begitu ketakutan? Mengapa Rama berdiri dan tercengang kaku melihatku? Tampaknya aku kehilangan beberapa waktu yang membuatku terjebak dalam insiden berdarah.

Pandanganku pun bergulir ke bawah. Sialan! tangan kananku memegang golok. Bajuku dipenuhi nodah darah. Aku bisa merasakan wajahku basah dan lengket. Bau anyir darah, tangan yang bersimbah darah dan tenaga yang terkuras habis.

Sebuah kenyataan gila yang membuatku terlihat seperti iblis. Kilatan petir menimbulkan cahaya blitz, aku terkungkung, terdiam, tapi aku tidak dapat mengakui bahwa sesuatu di dalam dirikulah yang telah membunuh mereka semua.

Copyright by I. Majid
Medan, 27 September 2020

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang