Tujuh Belas [Nyanyian Merdu Bunda]

469 154 20
                                    

"SUKA DIPUKUL? HUH! KAMU SENANG DIPUKUL?" Bentakan kasar ayah menyakitkan, pecutannya menyakitkan, dan perlakuannya menyakitkan. "Sudah kubilang jangan tidur sebelum aku pulang! Apa kamu tuli?"

Aku hampir tak bisa merasakan perih di punggung, berusaha melupakan cara-cara luar biasa yang pernah kuterima dari ayah. Bagai merindukan luka, aku pun memperlakukan pundakku sama seperti yang pernah ayah lakukan. Kupikir, hanya dengan cara ini, seseorang akan menyelamatkanku, aku tidak lagi tersakiti, tidak lagi dipaksa, dan aku bisa menjadi anak normal sebagaimana anak lain.

"Vanny! Apa yang kamu lakukan?!"

Aku berjengit kaget dan langsung meloloskan spatula dari tanganku. Benda itu lantang kelontang di lantai. Kakiku mundur tiga langkah, menempelkan punggungku ke sudut dinding kamar saat Om Mirza mendekat. Wajahnya panik, ia hanya mengenakan celana lululemon kelabu dan topless. Dada lemir dan perut kurusnya itu berkedut-kedut seirama dengan napasnya yang menakutiku.

"Kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri?" Aku membisu, tanganku berkeringat, minisetku yang semula melorot kunaikkan saat pria itu memungut spatula dari bawah kakiku. "Kamu ingin mati?" Aku menggeleng dalam ketertundukan. Kedua mata Om Mirza melotot, ia memutar tubuhku kasar, melihat hasil perbuatanku yang tak kuketahui sudah seburuk apa. "Kamu benar-benar ingin bunuh diri? Anak sebelas tahun sudah berpikir ingin bunuh diri? Kamu sudah gila?"

"E - Enggak, Om ... Vanny ... Vanny cuma—"

"Om tahu apa yang sedang kamu rencanakan." Aku melihatnya, melihat wajah kemarahan tetapi tertahan itu saat ia menarik lenganku dan menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Aku menangis, dan seperti yang selalu aku tunjukkan—Om Mirza tidak akan pernah peduli dengan air mataku. "Kamu akan berpura-pura terluka, kemudian memberitahu tante kamu, lantas kamu akan menceritakan semuanya, dan kamu pikir cara seperti itu akan mempan?" Dia tertawa, melolongkan suaranya ke langit-langit kamar, memenuhi pendengaranku. "Della tidak akan segampang itu percaya pada anak sakit mental sepertimu."

Aku duduk, melipat lutut dan merapatkannya ke depan dada. Om Mirza menaruh spatula ke atas meja belajarku, berjalan ke arah pintu kamar, menyembulkan kepalanya untuk memeriksa ke luar, lalu tangisanku semakin kencang, mengambil selimut, menutupi tubuhku. Aku ketakutan untuk yang entah ke berapa kalinya. Saat tangannya hendak menutup pintu, sesuatu berbunyi. Bel pintu. Aku terperangah, Om Mirza pun berdiri di depan pintu yang setengah terbuka.

Bel berbunyi lagi. Tiga kali, dan aku lega karena Om Mirza lebih memilih memeriksa siapa yang datang di pagi yang seharusnya sunyi ketimbang meneruskan niatnya semula.

"Pakai sweatermu!" titahnya sambil melempar sweater hitam yang diambilnya dari lengan kursi kepadaku. "Jangan keluar sampai aku kembali."

Aku menurut. Menurut sebagaimana anak yang selalu patuh.

Kamarku punya jendela yang bila dilihat dari sudut, maka sisi beranda depan rumah bisa terlihat. Ada dua orang datang—lelaki dan perempuan—mereka bicara dengan Om Mirza di muka pintu. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas kecuali bokong dan punggung seorang wanita berhijab dan pria yang berdiri di sampingnya. Akan tetapi, aku bisa mendengar mereka berdebat. Suara Om Mirza meninggi, sesekali rendah, kemudian tinggi lagi, kali ini lebih keras. Teriakan, bentakan, suara mereka saling bersahutan. Aku semakin penasaran, membuka sudut penglihatanku lebih luas. Mungkin terjadi perkelahian kecil, lalu aku mendengar suara seseorang yang sangat kukenal memanggilku,

"VANNY!!" Aku terkejut, wajahku mundur ke belakang dan kaku. "VANNY, DI MANA KAMU, NAK?!"

"Ayah?"

Aku tahu aku pernah sangat membenci ayah, sangat ... sangat ingin ayah mati. aku pernah berpikir kenapa harus bunda yang meninggal lebih dulu, kenapa tidak ayah. Tak pernah kupungkiri bahwa aku merasa menyesal memiliki ayah monster seperti ayahku. Namun untuk pertama kalinya, aku merasa sangat beruntung ayah masih ada di kehidupanku.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang