Empat [Malam yang Terlupakan]

860 199 12
                                    

Menit-menit berikutnya, aku mengalami kesulitan untuk merasakan diriku sendiri. Tabuhan drum, musik yang keras, sorak semarai penonton, gemerlap cahaya panggung, dan—nyanyian keras.

Getaran-getaran itu ada, tetapi aku tidak bisa merasakan itu sepenuhnya.

Seakan tubuhku tertidur. Mataku tertutup. Tangan dan kakiku terbelenggu.

Aku tidak bisa bergerak. Aku digerakkan. Aku dikendalikkan.

Melani mengendalikanku.

Dua tahun yang lalu, dr. Jihan—psikiater yang menanganiku sejak usia lima belas tahun—menvonisku sebagai penderita Dissociative Identity Disorder (DID). Ia selalu berupaya mengajariku bagaimana cara melawan. Namun aku tidak begitu setuju. Jadi kusebut itu sebagai menjinakkan. Setiap kali Melani menimbulkan gejala untuk mengambil alih, aku menyibukkan diri dengan kegiatan lain agar pikiranku tidak hampa. Terkadang ibu mengajakku mengaji. Terus menerus sampai fokusku beralih pada ayat-ayat Al-Qur'an. Terkadang, bermain gitar dan menyanyi juga memberiku penghiburan penuh. Aku berusaha untuk tidak menenggelamkan diri dalam bayang-bayang masa lalu meskipun dampaknya tak pernah kuterka.

Cara-cara sederhana itu berhasil. Setidaknya, Vanny tidak bertingkah kecentilan di depan cowok-cowok di sekolah, Vanny tidak lagi menyeringai aneh saat guru menerangkan pelajaran, dan tidak berteriak di ruang guru hanya karena Vanny—yang bukan Vanny—kehilangan akal sehatnya beberapa saat. Itu sebabnya, aku kerap dijauhi dan dikucilkan di sekolah.

Melani pernah mengendalikanku. Kini, ia menemukan tali kekang itu kembali setelah tiga tahun lamanya ia membisu.

Aku tidak bisa menumbangkannya. Kepribadian Melani ternyata jauh lebih kuat dariku. Ia lebih agresif dan terkadang ofensif pada orang lain. Inilah yang terjadi, ia berhasil membuat diriku menggila di atas panggung.

Aku dipendam-pendam dan dilesakkan tanpa mental.

Untuk waktu yang lama—entah berapa waktu—kesadaranku akhirnya kembali dengan cara yang tidak wajar.

Mataku menangkap langit-langit di atas kepalaku tak memiliki penerangan. Ruangan ini tidak memiliki pencahayaan penuh. Seseorang tampaknya membiarkan lampu dinding Nordic menyala. Musik ala DJ yang berdentum-dentum terdengar seperti kresendo yang disengaja. Ini bukan di pub, bukan juga di belakang panggung gedung pagelaran. Aku coba mencari tahu, tetapi sesuatu yang lebih penting terkait diriku sendiri menundanya.

Mulutku berbau alkohol, kepalaku pusing dan pandanganku mengabur. Aku mengerjapkan mata, berusaha berdiri pada kesadaranku sendiri. Penglihatanku mengedar sambil menahan sendawa yang menjijikkan. Di sampingku, Zack merangkul dalam keadaan teler. Kami duduk di atas sofa yang sama yang meskipun luas, tampaknya Zack tidak memeperbolehkan yang lain menumpuk kecuali hanya aku dan dia. Parahnya lagi, leher dan pipinya penuh dengan noda lipstik.

Anggota bandku, duduk dalam formasi acak. Arga menuang bir ke dalam gelas sambil cengir-cengir dan bicara tak jelas. Tito si Basis sudah tidak sadarkan diri dan tergeletak di atas karpet di bawah meja. David memainkan ponselnya dan sesekali tersenyum bodoh. Ada dua orang gadis berpakaian tidak etis yang aku tak tahu siapa mereka. Salah satunya menjatuhkan kepala di atas meja sementara bokongnya menempel di atas karpet. Satu gadis berambut blonde tidur di atas paha si drummer baru. Itu Marthin. Dan dia tidak begitu mabuk tampaknya.

Aku mengendus lengan dan bajuku, bau bercampur aduk benar-benar membuat perutku mual. Aku butuh ke kamar mandi. Sedikit kasar, aku menyingkirkan lengan Zack kemudian berdiri. Saat berjalan, kakiku seperti menyilang, tubuhku sempoyongan dan hampir saja terjatuh jika tanganku tidak bertumpu pada dinding. Ini gila. Mengapa aku bisa mabuk berat begini?

"Hei, kamu ngga apa-apa?"

Seseorang memegangi tubuhku. Aku mengerenyit memandanginya. Sendawa menjijikkan milikku menerpa wajahnya sampai ia harus menahan napas. Marthin menggeleng.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang