Sembilan Belas [Praduga tak Bersalah]

493 151 20
                                    

Aku sudah tidak lagi perawan.

Itu kalimat yang sangat menakutkan setelah aku paham apa artinya. Kini aku bisa memahami kenapa ayah mengalami kehancuran yang kedua kalinya setelah kehilangan bunda merupakan kehancuran yang pertama. Waktu itu aku baru tahu, kenapa ayah berteriak penuh kemarahan di balik telepon saat bicara dengan Tante Della rupanya karena ia diteror oleh rasa penyesalan. Aku mengintip, menguping, tidak terlalu memahami, tetapi aku bisa melihat kecaman serta ancaman penuh nafsu itu membakar tubuh ayah.

Aku terkejut ketika ayah membanting ponsel murahnya ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Ia menarik rambutnya yang sudah gondrong, menggeram sendiri. Lalu tanpa sengaja ia melihatku yang setengah bersembunyi di balik sekat dinding. Mungkin ia berpikir kalau aku sedang ketakutan mengingat trauma kekasarannya dulu, meskipun sedikit banyaknya benar. Namun tidak begitu, aku justru menerima pelukannya. Mendengarkan kata-katanya.

"Mulai sekarang, ayah tidak akan pernah membiarkan kamu menderita, Nak. Ayah minta maaf karena sudah menyia-nyiakan Vanny." Ayah menangis di balik wajahnya yang di mataku selalu terlihat kejam, tapi itu adalah air mata entah yang keberapa kali kulihat merundungi wajahnya. "Ayah menyayangimu. Maafkan ayah ...."

Melihat wajah sangar ayah yang kelihatan cengeng, aku merasa lucu. Terus terang lagi, aku masih belum bisa membedakan mana sikap tulus penuh penyesalannya dan mana sikap terpaksa dirinya agar aku tidak buka mulut soal kejahatannya di masa lampau. Semuanya bagai perpaduan panggung sandiwara di mataku. Jadi, jangan salahkan aku jika ayah tak mendapatkan simpati dariku sedikitpun kecuali respon tak acuhku yang tak bersuara.

Anggap saja itu hukuman untuknya. Anggap saja apa yang terjadi padaku adalah balasan untuknya.

***

"Kembali ke tempat tidurmu, Tasya! Atau Om akan panggilkan dokter untuk menyuntikmu?"

"Apa kamu nggak lihat aku lagi yoga? Aku baru mulai tiga menit yang lalu. Jangan menggangguku."

Aku membuka mata. Pria itu berdiri terbalik. Kakinya menapak atap marmer sedangkan kepalanya menggantung di bawah. Sejenak aku merasa lucu.

"Kamu siapa?" tanyanya.

"Kinara. Namaste ...," jawabku sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.

"Baiklah, Kinara ... bisakah kamu duduk dengan baik? Jangan lakukan gerakan itu karena kepala yang masih berbalut perban itu milik Vanny. Kamu akan membuatnya tambah sakit."

"Aku baik – baik saja, hanya perlu sedikit pemanasan sebelum masuk ke gerakan ekstrim."

"Kamu suka olahraga?"

"Aku mencintai pilates, yoga, dan ... angkat beban." Aku melirik bed kusut di seberang. "Aku bahkan bisa mengangkat bed itu ke udara hanya dengan satu tangan. Apa kamu percaya?"

"Tidak!" katanya. "Ayolah, Kinara ... kembali ke tempat tidurmu dan istirahat."

"Aku tidak sakit."

Sejak kapan aku sakit? Aku rutin berolahraga dan memakan makanan sehat, mustahil aku sakit. Perban di kepalaku ini, sejujurnya sangat mengganggu. Aku menurunkan kakiku yang semula berada di atas, berdiri tegak lalu menggertakkan leher ke kanan dan kekiri. Melepas benda yang menempel di keningku.

"Jangan!! Apa yang kamu lakukan?!" pria itu menahan tanganku. Aku terheran.

"Aku bilang aku tidak sakit. Jadi untuk apa plester bau ini?"

"Lukanya belum kering, kamu belum boleh membukanya."

"Apaan, sih?" Aku menangkis tangannya kasar. Pria itu terpelongo melihatku.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang