Cahaya ke-65

410 35 13
                                    

Kematian.

Saat di mana kehidupan telah menjumpai batasnya. Saat di mana dunia fana bukanlah alam yang sesungguhnya.

Ada yang pergi, maka siap tidak siap, harus ada yang tersakiti, begitulah rumusnya.

Mereka berduka tanpa kenal lelah, tanpa tahu bahwa dengan menangis berhari-hari, yang sudah pergi tetap tidak akan pernah kembali.

Dan ketika itu terjadi, mungkin di antara kalian bertanya-tanya, mengapa harus ada kematian?

Ayolah, itu sudah perjanjiannya.

Bukan bermaksud menyepelekan, tapi hanya ingin mengingatkan bahwa setiap apa yang ada di dunia ini bukanlah sesuatu yang abadi.

Ada siang, ada malam. Ada suka sebagai pengganti duka. Demikian pula hidup, ada kelahiran, ada pula kematian.

Sadar atau tidak, jauh sebelum kalian dilahirkan, tanggal kematian itu sudah ada. Sudah terencana sedemikian rapi saking hebatnya Tuhan kita.

Dan karena manusia hanyalah umat yang jika diibaratkan mungkin akan jauh lebih kecil daripada debu yang bertebaran di muka bumi, jadilah kita tidak bisa apa-apa.

Dalam artian, perlawanan itu tidak bisa terjadi dan selamanya akan selalu begitu. Karena apa pun yang sudah digariskan Tuhan dari awal, tidak bisa dibelokkan begitu saja bahkan oleh manusia tersuci sekalipun.

Oleh sebab itu, bersyukurlah.

Berterimakasihlah jika di pagi hari kalian masih bisa membuka mata. Berterimakasihlah di setiap saat kalian masih bisa bernapas lega.

Dan terakhir, berterimakasihlah karena mungkin sampai detik di mana kalian membaca kalimat ini, kalian masih bersama orang-orang yang kalian sayangi.

Poin-poin itu yang paling utama. Kalian hidup, dan kalian dikelilingi keluarga dan teman-teman terkasih---gambaran surga yang ada di dunia.

Cukup dengan berkumpul bersama mereka, kalian bisa bahagia tanpa perlu sesuatu yang lain. Karena mereka spesial, dan bagi mereka, kalian istimewa.

Jadi tidak ada alasan untuk bersedih.

Tersenyumlah selagi ragamu bisa.

Tersenyumlah karena jauh di luar sana ada seseorang yang mungkin untuk sekadar menciptakan hiburan untuk dirinya sendiri, ia tidak bisa.

Dia tidak sanggup karena sumber kepedihan yang terasa menusuk-nusuk hatinya ada di depan mata.

Lihatlah, kini gadisnya sedang di ambang hidup dan mati dengan alat bantu pernapasan yang sebentar saja dilepas, maka akan berakibat fatal.

Tanpa mereka, mungkin Cahaya sudah tiada kemarin.

Dewa ingin bersyukur karena itu, sungguh.

Namun apa daya, sosok yang seolah tengah dipertaruhkan kehidupannya itu membuat hatinya kembali meringis.

Bagaimana jika suatu saat ketakutannya menjadi kenyataan? Bagaimana jika kelak Cahaya lebih memilih bersama Sharla dan Luna ketimbang dirinya?

Tidak. Tidak.

Demi Tuhan, Dewa tidak sanggup membayangkannya.

Ia tidak mau hal itu sampai terjadi karena dirinya bukan sekadar merasa menginginkan Cahaya.

Di atas segalanya, Dewa akan tegas mengungkapkan bahwa ia sangat membutuhkan gadisnya.

"Bertahan, ya ...," pintanya lirih dengan netra yang mulai diselimuti air mat---

Plak!!

Refleks Dewa mundur, memegang pipi kirinya, terkejut dengan tamparan yang amat tiba-tiba itu.

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang