Tolong kasih pendapat kalian setelah baca chapter ini ya, karna aku sangat-sangat-sangat butuh itu 😉
⚫⚫⚫
"Kenapa nggak jadi beli?"
"Nggak papa," jawab gadis itu ringan. "Aku pengen pake pensil warna yang lama aja."
Selanjutnya, Cahaya melangkah cepat menuju Blue-nya di bawah pohon, bersiap pergi ke suatu tempat di mana dirinya bisa menemukan barang yang ia rasa cocok untuk seseorang.
"Tapi, pensil warna lo itu udah banyak pendeknya," ucap Dewa.
Padahal kemarin Cahaya terlihat sangat bersemangat menunggu hari ini, tapi kenapa sekarang ia malah tidak mau membeli barang yang membuatnya rela tidak jajan selama tiga hari?
Ia jadi heran dengan sikap Cahaya.
Apalagi mengingat bahwa kemarin Dewa mengajaknya berangkat bersama, tapi besoknya gadis itu malah berangkat sendiri tanpa ada kabar apa-apa. Aneh.
"Tapi yang panjang juga banyak, tau. Kan, sayang kalo nggak dipake," cetusnya.
"Ya tapi---"
"Udah dulu, ya. Dadah!" Bersama senyum manisnya, Cahaya melambaikan tangan sebelum mengayuh Blue dengan kecepatan sedang.
Dalam batinnya, ia berkata, "Maaf, aku harus boh---"
"Aya?"
"Aya?"
Sekali lagi Hazel memanggil, tetap tak ada respons. Maka akhirnya ia memutuskan untuk menyentuh bahu gadis yang sedikit terlonjak dari kursinya.
"Eh? Iya, kenapa?"
"Malah ngelamun," protesnya. "Hmm, biar aku tebak, pasti kamu nggak dengerin hasil rapat tadi. Iya, kan?"
Lagi-lagi Cahaya terkejut. Oh, tidak, apa yang telah ia lewatkan?
Memasang wajah bersalahnya, ia pun mengucap maaf, mengakibatkan Hazel mengeluarkan dengusan pelan.
"Kamu kenapa, sih? Ada masalah, ya?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Cahaya jadi kembali teringat dengan apa yang membuatnya termenung sejak tadi, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa rapat Journalizer telah selesai lima menit yang lalu---menyisakan suasana perpustakaan yang sepi.
Hanya ada dirinya dan Hazel.
Ralat, ada Bu Riana juga. Dan di pojok sana, tampak seorang gadis lain tengah mengemasi bahan-bahan rapat sambil sesekali melirik keduanya.
Ia tak habis pikir, entah apa yang membuat Hazel selalu memberikan perhatian lebih pada Cahaya.
Gadis itu biasa saja. Tidak ada yang spesial, kecuali bakat menggambarnya.
Tapi menurutnya, itu bukanlah alasan yang tepat bagi Hazel memberikan curahan perhatian serta waktunya hanya untuk sekadar mendengarkan celotehan receh ataupun membaca berlembar notes layangan dari Cahaya.
"Zel, balik ke kelas, yuk!" ajaknya.
"Kamu duluan aja, ya, Jess. Ntar aku nyusul," sahut Hazel.
Mulai, perasaannya memanas. Bukan sekali atau dua kali saja Hazel begini. Sudah sering.
Padahal lelaki itu tahu betul, Cahaya sudah berpacaran dengan Dewa, tapi kenapa sikapnya masih tak kunjung berubah?
"Cerita, dong. Kali aja aku bisa bantu," tawarnya hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya [COMPLETED]
Novela Juvenil⚠️PERINGATAN!⚠️ CERITA INI DIBUAT SAAT AUTHOR BELUM MEMAHAMI BETUL BAGAIMANA KAIDAH PENULISAN NOVEL YANG BAIK. JADI BAGI KALIAN YG TETAP INGIN MEMBACA, HARUS SIAP MENGHADAPI BANYAK KECACATAN DI DALAMNYA. MOHON KRITIK DAN SARANNYA. SEKIAN. TERIMA KAS...