Cahaya ke-70

408 36 81
                                    

Selena meremas kertas di tangannya, merobeknya menjadi empat bagian sebelum benar-benar membuangnya ke tempat sampah. Tempat sepatutnya surat itu berada.

Tatapannya menajam, terhunjam persis pada iris cokelat terang milik Cahaya yang terlihat berkilau terselimuti air mata.

"Kenapa Aya nangis?" Selena bertanya sengit. "Bunda nggak suka, ya. Hapus air matanya!"

Takut-takut anak itu mengusap kedua netranya, berusaha mengusir isak yang bersiap mendera meski Cahaya tahu, getar di bibirnya menandakan bahwa sesungguhnya ia tidak bisa.

Dan Selena menyadari itu.

"Aya nggak boleh gini terus," peringatnya.

"Sampai kapan Aya mau mikirin Dewa, Dewa, dan Dewa? Dia nggak pernah ada. Bahkan sekedar jenguk Aya, dia nggak ngelakuin, 'kan? Jadi, jangan nangisin orang seperti itu. Nggak ada gunanya, Sayang."

"Tapi Aya--"

"Udah, stop! Stop!" sela Selena. "Bunda nggak mau denger apa-apa lagi tentang dia. Masalah ini selesai sampai di sini. Titik!"

Tanpa menunggu lebih lama, ia memutus kontak mata dengan Cahaya, berganti meraih nampan yang bungkusnya langsung ia robek.

"Sekarang mendingan Aya makan, Bunda suapin," tegas wanita itu, cekatan menyendok sesuap yang langsung Cahaya tolak mentah-mentah.

Anak itu menggeleng tegas, tidak mau menerima asupan makanan yang Selena ulurkan, memancing bundanya untuk menggeram. "Kenapa lagi?"

Cahaya mengerucutkan bibirnya, tidak senang Selena memutus pembicaraan sepihak. "Aya nggak mau makan sampe Bunda maafin Dewa."

Dengan sorot tidak mengerti, Selena memandang putrinya. "Aya mau ngancem Bunda?"

"Aya nggak ngancem," balasnya. "Pokoknya kalo Dewa nggak balik, Aya nggak makan!"

"Sayang!" sentaknya menyadarkan.

"Jangan jadi bodoh cuma karna Aya suka sama seseorang! Sewajarnya Aya bersyukur, dia tahu diri. Dia sadar kalau sejatinya dia nggak pantes buat Aya. Aya harusnya ngerti itu."

"Tapi Aya nggak ngerasa gitu," sangkalnya.

"Dewa baik, kok. Cuma karna satu kesalahan, bukan berarti semuanya harus selesai, 'kan, Bun? Kasih Dewa kesempatan."

"Dan biarin Aya berpeluang sakit hati untuk yang kedua, ketiga, atau entah sampai keberapa kali?" Selena menantang. "Nggak. Bunda nggak mau ambil risiko! Apa pun alesannya, kalian harus putus!"

"Bunda nggak boleh ngatur-ngatur Aya!" bantah gadis itu sedikit meninggi. "Perasaan ini, 'kan, yang ngerasain Aya, bukan Bunda!"

"Jadi selama ini Aya anggep Bunda nggak ngerti? Bunda nggak ngerasain kesedihan Aya?"

"Kalo Bunda ngerti, Bunda nggak akan kayak gini ...," rengek Cahaya. "Kalo Bunda paham, harusnya Bunda tau apa yang Aya mau ...."

"Ini artinya Aya lebih pilih Dewa dibanding nurut apa kata Bunda? Iya?" Selena memastikan, yang mana membuat Cahaya sempat tertegun sejenak, terkejut dengan penuturan bundanya.

"Bun, bukan, nggak gitu--"

"Kalau emang Aya nggak bermaksud gitu, berarti mulai sekarang Aya harus pikirin baik-baik. Aya harus milih, Bunda atau Dewa!" tegasnya.

"Karna nggak akan ada Bunda kalau Aya masih ungkit-ungkit dia!"

Berselang tiga detik mengecam Cahaya, Selena langsung menghempaskan nampan itu ke pangkuan putrinya.

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang