Cahaya ke-71

367 29 18
                                    

Sepiring nasi dengan sup ayam dan perkedel, ditambah kudapan lima potong biskuit, juga pisang yang melengkung indah di piringnya itu tampak menggiurkan meski rasanya selalu kurang bumbu.

Tak lupa susu cokelat yang sudah Cahaya stempel 'harus ada dan tidak boleh tawar' turut melengkapi kehadiran air putih di atas nakas. Hitung-hitung sebagai balas jasa untuknya menyantap masakan berasa aneh itu.

Entah apa yang mereka pikirkan sehingga tega memberikan makanan cantik yang berhasil menipu lidah. Cahaya sampai hampir tergoda melihatnya, sungguh.

Sepertinya sudah lama ia tidak mengeluh perkara itu walau kenyataannya tiga kali dalam sehari indra pengecapannya harus merasakan masakan yang berbeda tapi tetap satu rasa; hambar.

Namun, kali ini rasanya benar-benar di luar itu semua.

Jika biasanya ia tetap semangat memaksakan untuk melahapnya hanya agar bisa cepat pulang, tapi sekarang kepura-puraan itu mendadak terusir pergi darinya.

Dengan tatapan tidak selera Cahaya melirik nampan aluminium di depannya, mulai menyendok sedikit demi sedikit, tidak peduli seandainya Selena yang sedang mengambil air dari dispenser itu melirik tidak sabaran.

"Bunda tunggu lima menit, setelah itu Aya minum obatnya," tegas wanita yang sudah berpindah meletakkan segelas air itu di samping piring kecil berisi obat-obatan Cahaya.

Selayang berlalu, Selena memutuskan untuk duduk, menunggui putrinya makan tanpa kehadiran barang satu patah kata, membuat binar mata Cahaya yang menyendu itu kian terlihat suram.

Lihatlah, bahkan Selena tidak berinisiatif menyuapi, hanya memantau dengan ekspresi datarnya sekalipun Cahaya mulai berulah--memain-mainkan sendoknya, membolak-balik nasi yang sudah tercampur dengan kuah.

Sejak insiden kemarin, semuanya berubah. Tidak ada perhatian-perhatian kecil, juga tatap yang penuh arti.

Sebab itu Cahaya jadi tidak tenang. Dan semakin resah saja sejak perbincangannya dengan Diego semalam.

Tidak lama, tetapi amat membekas di dalam benak.

Cahaya masih ingat betul bagaimana rangkaian kata yang ayahnya ucapkan, bagaimana gencarnya anjuran--juga penjelasan--yang bersikeras mengetuk dinding hatinya tanpa permisi, seakan memaksa masuk untuk dipahami.

Dan begitu Cahaya mencoba membuka pintunya sedikit, mereka langsung menyerbu.

Tak kenal jeda, mereka lalu mengenyakkan Cahaya kuat-kuat seolah ingin menyadarkan tentang benarkah persepsinya soal apa yang ia butuhkan.

Apakah ia mutlak harus mendapatkan Dewa? Apakah Dewa kebutuhan utamanya?

Lantas apakah Cahaya akan bahagia jika di akhir cerita ia bisa memiliki Dewa tanpa ada sosok Selena hidup dalam kesehariannya?

Lamat-lamat, ia rasa ... mungkin mereka--ralat, mungkin Diego benar.

Selena keluarganya, bundanya. Wanita yang enam belas tahun silam rela bertaruh nyawa demi kehadiran buah hatinya.

Anugerah tak tenilai. Cahaya masih mengenang bagaimana lirih Selena menyematkan kalimat itu padanya dulu, membuat remaja dengan segala sikap labilnya sempat menatap figur itu penuh penghargaan.

"Bun ...." Perlahan, Cahaya membuka gerbang percakapan, sempurna membuang fokus dari nasi di depannya.

Takut-takut ia melihat Selena, sesekali mengerling bingung, tidak tahu harus memakai bahasa apa agar wanita yang menunggunya berbicara itu tidak kembali terluka.

Namun, sekeras apa pun Cahaya berpikir, semaksimal apa pun kinerja otaknya ia kerahkan, ujung-ujungnya yang sanggup bibirnya lontarkan hanya satu kata; maaf.

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang