Prolog

7.7K 929 842
                                    

PERINGATAN!⚠️

CERITA INI DIBUAT SAAT AUTHOR BELUM MEMAHAMI BETUL BAGAIMANA KAIDAH PENULISAN NOVEL YANG BAIK.

JADI BAGI KALIAN YG TETAP INGIN MEMBACA, HARUS SIAP MENGHADAPI BANYAK KECACATAN DI DALAMNYA.

MOHON KRITIK DAN SARANNYA. SEKIAN. TERIMA KASIH.

🤍🤍🤍

Mobil hitam itu melaju kencang, membaur bersama kendaraan-kendaraan dengan tujuan yang sama, membawa pemiliknya pulang ke rumah.

Dari dalam mobil, seorang gadis sedang asyik menatap ramainya orang yang berlalu-lalang di trotoar. Pekerja kantoran, pelajar, pengamen, pedagang asongan berseliweran dengan kepentingan mereka masing-masing.

Melihat pemandangan itu, membuatnya merasakan rindu yang amat sangat. Rindu yang selama ini hanya bisa ia pendam, tanpa bisa ia wujudkan.

Selama ini ia hanya bisa diam, menuruti apa kata kedua orangtuanya, dan mengabaikan hal yang sebenarnya ia inginkan walaupun kondisinya meragukan.

Sebenarnya ia sudah ingin bilang sejak lama, tapi melihat emosi bundanya, ia selalu saja batal mengatakannya. Ia takut bundanya sedih.

Ia menghela napas sejenak, kemudian menghembuskannya.

Apa ini saatnya? Apa aku harus mengutarakannya sekarang? Batinnya.

Bibirnya ingin bilang, tetapi batinnya selalu saja menghalangi niatnya. Ia terlalu banyak berpikir, membayangkan, dan menduga-duga, tanpa tahu apa yang terjadi jika seandainya ia berani mengatakan hal itu dari dulu.

Seandainya hari ini gadis itu berani, apa yang akan terjadi?

"Bunda..." Panggilnya dengan suara yang seperti tertahan di tenggorokan.

"Iya, sayang?" Selena yang sedang fokus menyetir mobil itu segera menepikan mobilnya. Kalau anaknya sudah memanggil, apalagi ini di jalan raya, berarti sesuatu yang hendak ia sampaikan itu tidak main-main. Sang bunda menoleh dengan tatapannya yang sendu, penuh kasih sayang.

Sekaranglah kesempatannya, tapi gadis itu malah bingung sendiri harus mulai dari mana. Ia bergumam pelan.

"Aya mau ngomong sesuatu sama bunda..." Ujarnya dengan bahasa isyarat diiringi bibir yang merapalkan setiap katanya.

"Aya mau ngomong apa?" Bundanya menunggu.

"Tapi bunda jangan marah ya." Ia menatap takut-takut bundanya. "Bunda juga jangan sedih..."

Perasaan Selena jadi tidak enak mendengar anaknya bicara seperti itu. Maka ia memutuskan untuk diam, menunggu apa yang akan disampaikan anak kesayangannya.

Melihat bundanya terdiam, Cahaya juga ikut diam. Sampai beberapa saat kemudian ia yakin, bahwa ia harus melanjutkan niatnya.

"Aya... Aya mau sekolah," tuturnya.

Raut wajah sang bunda langsung berubah. Benar dugaannya, ternyata hal ini yang ingin Cahaya sampaikan.

Selena menghela napas. "Aya kan udah seko---" ucapannya terhenti karena anak kesayangannya itu cepat-cepat menggeleng, "Aya nggak mau homeschooling lagi bunda. Nggak mau... Aya mau sekolah di sekolah umum."

Mengetahui penuturan anaknya, Selena mengerutkan kening, berpikir keras. Ini yang ia takutkan sejak lama, ia takut Cahaya rindu sekolah. Ia takut membuat Cahaya sedih. Menyekolahkannya atau tidak sama saja akan memakan batin dan pikirannya. Sebagai sosok bunda yang sangat menyayangi anaknya, ia terlalu trauma. Ia takut tragedi itu terulang lagi.

"Aya... Aya bosen sama gurunya?"

Cahaya menggeleng.

"Bosen pelajarannya?"

Lagi-lagi hanya respon gelengan yang didapat.

"Aya mau homeschooling yang kayak gimana? Bunda bisa minta mereka mengajar dengan sistem yang berbeda. Sistem yang lebih asyik," tawarnya dengan tatapan menggoda.

Lagi-lagi Cahaya menggeleng, membuat bundanya semakin risau.

"Sayang..." panggilnya.

Cahaya hanya menatap melas Selena, berharap agar bundanya itu mengerti kemauan yang selama ini ia pendam dan baru berani ia katakan sekarang.

"Tapi Aya pengen bisa sekolah kaya dulu lagi, bunda. Aya kangen suasana sekolah. Aya kangen bisa ngerjain PR sampai malem, bisa punya temen, bisa belajar bareng. Aya mau kayak dulu lagi bunda..." Air mata mulai menetes satu per satu dari pelupuk matanya, membuat Selena ikut menangis.

Tapi sekarang semuanya berbeda... Semuanya nggak seperti dulu lagi...

"Sayang..." ia mengelus kepala anaknya yang sudah sempurna menangis, kemudian memeluknya.

"Bunda takut kejadian itu keulang lagi, bunda takut Aya sedih kedepannya. Bunda bener-bener nggak mau semua itu terjadi lagi sama Aya. Cukup sekali bunda terpukul, bunda nggak mau lagi."

Cahaya melepas pelukan bundanya. "Aya yakin kejadian itu nggak bakal terulang lagi bunda... Aya janji nggak akan sedih, Aya juga nggak akan bikin ayah bunda sedih. Percaya sama Aya..."

Berat baginya untuk sekedar menuruti keinginan Cahaya yang satu itu. Ketakutan yang dirasakannya terlalu besar dan terlalu banyak. Belum selesai ketakutan yang satu, muncul banyak ketakutan yang lainnya. Sehingga ia lupa akan tujuan utamanya : Membahagiakan Cahaya.

"Bunda..." Rajuknya.

"Nanti bunda bicarain dulu sama ayah..." suara parau Selena terdengar pahit, bahkan di telinganya sendiri.

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang