2. Jalan di Antara Bambu

601 85 4
                                    

"Aku lah si mata burung hantu, akulah si telinga kelelawar dan satu lagi yang belum diketahui Irene, akulah si penghenti waktu, akulah Wendy."

Wendy membaringkan tubuhnya di bawah rumpun bambu, perempuan itu lelah setelah mencabuti rumput di sekitar tanaman wortel.

Ia memejamkan matanya.

Trang!

Salah satu saudara dari perempuan itu ingin menebas leher perempuan itu dengan pedang yang dipegangnya namun perempuan muda bernama Wendy itu menangkisnya dengan pisau yang ia bawa.

Wendy melihat saudaranya tanpa ekspresi dan tetap pada posisi berbaring.

Trang!

Saudara Wendy mencoba menebasnya lagi dan lagi-lagi Wendy menangkis pedang itu. Perempuan itu bisa mendengar gemerutuk gigi saudaranya lalu pria muda itu pergi meninggalkan Wendy yang masih berbaring.

Tiga hari ini, sudah ada sepuluh orang saudara dan saudari Wendy yang mencoba membunuhnya, termasuk saudari-saudarinya yang sekamar dengannya namun mereka selalu gagal.

.
.

Wendy benar-benar tertidur sekarang.

"Mata burung hantuku, bangunlah. Ibu Bambu datang." Suara Irene membangunkan Wendy.

Seorang wanita berwajah cantik dengan rambut uraian serat-serat bambu dengan hati-hati tangannya yang berbuku-buku persis seperti bambu ingin menyentuh wajah Wendy. Wendy membuka matanya, itu hanya mimpi. Tiba-tiba ada angin yang cukup kencang menggoyangkan dahan-dahan bambu di atas Wendy. Sekilas ia melihat seseorang mengintipnya dari celah-celah bambu.

Wendy mendudukkan dirinya. Ia melihat dari kejauhan ada dua anak laki-laki, mungkin sekitar sepuluh tahun umurnya, mereka memakai baju serba putih, baju penghuni rumah ini. Terlihat seorang lelaki yang tak asing di mata Wendy sedang menyerahkan anak-anak itu untuk dijadikan saudara baru Wendy dan yang lainnya kepada Ibu pengasuh di sini.

Mereka tampak berbincang sebentar. Tiba-tiba pria itu melihat Wendy dari kejauhan dan mengangguk-angggukkan kepalanya saat ibu pengasuh menunjuk ke arahnya. Wendy bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka bilang Ibu Bambu menyukai dirinya. Saat Wendy mengerjapkan kedua matanya, tiba-tiba laki-laki yang tadinya sedang berbicara dengan ibu pengasuh itu sudah berada di hadapannya.

"Kau sudah pernah mencoba keluar dari sini kan?" Tanya pria itu pada Wendy.

Wendy hanya diam.

Dengan tiba-tiba lelaki itu menyerang Wendy menggunakan pisau meski terlihat hanya sebuah gertakan. Perempuan bermata tajam itu berada di bawah lelaki itu, sedikit darah keluar dari kulit leher Wendy yang masih menatap lelaki yang menggoreskan luka pada lehernya.

"Tunjukkan jika kau memang pantas dipilih oleh Ibu Bambu!" Lelaki itu membentak Wendy.

"Aku tak berniat memantaskan diriku ataupun ingin untuk dipilih. Dipilih ataupun tidak, apa bedanya? Semua akan berujung kematian." Jawab Wendy.

"Ibu Bambu akan memberikan apa pun yang kau ingin, apapun!" Lelaki itu mencoba membuat Wendy tertarik.

Wendy membalikkan posisi, sekarang ia berada di atas lelaki itu dengan menekan pisau pria itu ke arah lehernya sendiri.

"Hanya orang bodoh yang percaya omong kosong semacam itu. Jawab aku, sebenarnya dari mana kami berasal? Dari mana kau mendapatkan kami?" Tanya Wendy tanpa ekspresi dan terus menekan pisau yang dipegang lelaki itu ke arah lehernya yang terlihat menegang, lelaki itu sedikit takut dengan raut wajah tanpa ekspresi dan mata kosong nan tajam milik Wendy. Perempuan muda  bernama Wendy ini benar-benar sesuai dengan gambaran cerita yang selama ini ia dengar, ya gadis ini cantik dan berbahaya. Wendy melepaskan cengkraman tangannya pada pisau lelaki itu ia lalu ikut berbaring di sampingnya.

"Jika kau tak keberatan, aku ingin ikut denganmu agar bisa keluar dari sini." Pinta Wendy.

"Kau tak akan pernah bisa keluar dari sini, jiwamu terikat di tempat ini." Lelaki itu memperjelas kondisi Wendy saat ini.

"Jika aku membunuh Ibu Bambu, apakah aku bisa memusnahkan tempat ini? Atau aku justru bisa keluar dari sini?" Tanya Wendy saat ia menolehkan wajahnya pada lelaki di sampingnya.

Lelaki itu terperanjat mendengarkan kalimat yang keluar dari mulut gadis itu. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang berani berniat membunuh Ibu Bambu.

Wendy duduk lalu menatap pria itu.

Lelaki itu beranjak, Wendy mengikutinya.

Sampailah lelaki itu pada serumpun bambu. Rumpun itu tak ada bedanya dengan rumpun bambu yang lain. Wendy memandang sekeliling. Ada sebuah pohon jati sekitar lima meter dari rumpun itu.

Pria itu menghilang.

Wendy mendekati rumpun bambu itu, lonceng-lonceng di kaki gadis itu berbunyi keras sekali. Ia menutup kedua telinganya dan terduduk.

"Aaaaarrrrrrggggg!!!" Wendy berteriak keras sekali. "Ibu Bambu! Keluarlah! Tunjukkan dirimu!" Tantang Wendy yang sedang menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Wendy memegang gelang yang masih berbunyi nyaring di kedua kakinya, ia ingin memutus gelang itu dengan sekuat tenaga namun sia-sia.

Semua menjadi gelap.

Muncul wajah Irene di pelupuk mata Wendy.

"Bangun tukang tidur! Ikuti aku." Ucap Irene.

Irene menarik tangan Wendy, mereka berlari menjauhi tempat tadi.

"Jangan mati dulu, kau harus bisa keluar dari sini! Ketika bulan sabit memantulkan bayangannya di kolam seberang, pintu itu akan terbuka. Jika kau menoleh maka kau akan terjebak, jika kau tak menoleh maka tak ada yang bisa diselamatkan. Ingat itu baik-baik." Irene tersenyum lalu mengelus pucuk kepala Wendy dengan rasa haru luar biasa yang bisa dirasakan oleh Wendy.

Wendy membuka matanya, ia sudah di tengah ladang wortel yang selama ini mereka rawat untuk kebutuhan pangan. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Andaikan Irene masih di sini, ia tak akan sendirian seperti sekarang, tak akan merasakan kesepian yang tak berujung ini.

Wendy mencabut banyak wortel,

menendangnya,

lalu memakannya seperti orang kesetanan.

Ia menangis.

Ia meraung.

Setelah ia puas, ia berjalan pulang tanpa merapikan dirinya yang berbalut tanah dan berantakan. Wendy masih memegang  wortel dikedua tangannya. Ia memakannya sambil berjalan.

"Hei! Siapa yang mengizinkanmu masuk dengan kondisi kotor seperti itu!" Joy menegur Wendy.

Wendy mendekati perempuan muda itu.

"Kau mau wortel? Ha ha ha ha atau kau ingin mati sekarang? Jawablah adikku sayang. Lebih baik kau mati kubunuh daripada mati dibunuh oleh Ibu Bambu!" Ucap Wendy yang kemudian menggigit wortel di kedua tangannya bergantian.

Plak! Joy menampar Wendy.

"Jaga mulutmu! Ibu Bambu itu junjungan kita!" Ucap Joy marah.

"Orang bodoh sepertimu tak bisa membedakan yang mana junjungan dan yang mana pembunuh!" Jawab Wendy yang tak kalah keras dengan bentakan Joy tadi.

Joy masih tak memahami apa yang dikatakan oleh Wendy. Gadis itu pergi meninggalkan Wendy di dalam kamar. Ia akan pergi berdo'a ke ruang bawah tanah.

Wendy masih memakan wortelnya. Sementara tangan kirinya menghantamkan wortel yang ia pegang ke kaca jendela kamar. Kaca itu pecah lalu ia pergi tidur tanpa peduli betapa berantakannya ia.

"Irene, Irene. Mengapa kau meninggalkanku? Aku tak tahan lagi." Air mata Wendy menetes lagi, entah sudah kali berapa ia menangis. Hatinya tetap tak bisa menerima kepergian Irene. Rasa kesepian yang ia hadapi tengah menggerogoti raga dan kewarasannya hingga ia menjadi cangkang kosong tanpa jiwa.

Lonceng Bambu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang