Keringat Taeyong menetes lagi dari pelipisnya. Ia berulangkali menyeka keringatnya. Hari ini benar-benar panas, jalanan yang ia lalui pun sedang macet.
Pria itu menguap, ia masih lelah karena semalam lembur dan hari ini ia harus mendatangi tempat yang kemungkinan terdapat fosil yang berharga. Tempat itu jauh di pelosok pulau yang cukup besar dan di sana banyak jenis bambu langka yang dilindungi kelestariannya.
Dari data yang ia terima, pulau itu dihuni oleh sekitar seratus keluarga, rumah mereka berada di sekitaran pantai pulau itu, mata pencaharian mereka kebanyakan adalah petani dan nelayan. Beberapa ada yang membuka usaha menyewakan rumah singgah, kapal serta peralatan selam karena pantai mereka indah dan lautnya yang dangkal dengan terumbu karang dan ikan warna-warni. Pulau ini jika diibaratkan sebagai artis, ia adalah artis yang sedang naik daun. Cukup banyak wisatawan yang pergi ke sana.
Taeyong dan teman-teman sekantornya telah tiba di pelabuhan. Mereka menyewa dua kapal berukuran cukup besar karena jumlah mereka berlima dan ditambah lima orang pekerja yang mereka sewa, ditambah lagi alat-alat lapangan yang mereka bawa cukup banyak.
Mereka menyewa dua rumah singgah saat sampai di pulau itu. Penduduknya ramah-ramah sekali. Mereka disapa di sepanjang jalan.
Malam ini, mereka bersepuluh singgah di balai desa untuk memohon izin melakukan pencarian fosil. Mereka juga menjelaskan apabila mereka diutus oleh dinas pemerintah tempat mereka bekerja. Kepala desa menyambut dengan baik, beliau senang jika memang ada fosil berharga di pulaunya karena akan menambah daya tarik wisatawan.
Beliau berpesan kepada mereka untuk berhati-hati karena ada beberapa jenis ular beracun yang hidup di sini. Beliau juga berpesan agar selalu berdo'a saat memasuki tempat-tempat yang belum terjamah. Beliau berkata bahwa pulau ini cukup besar, penduduknya sedikit dan banyak tanaman yang dilindungi maka masih banyak tempat-tempat yang tak terjamah sampai hari ini.
Beliau berpesan lagi, ada mitos yang dipercayai masyarakat pulau ini, jika bulan sabit terlihat di langit pada tanggal 1, 2 dan 3 (kalender bulan), mereka melarang keluar anak-anak mereka sampai pada batas yang mereka namai "batas jati". Batas itu berbentuk tujuh pohon jati yang tumbuh berjajar rapi. Di belakang pohon-pohon jati itu adalah hutan belantara yang sebagian besar didominasi oleh bambu. Namun jika sudah lepas dari tanggal itu, tidak apa-apa jika ingin masuk hutan melewati pohon-pohon itu.
Saat nenek moyang mereka dulu datang ke pulau ini, pohon-pohon itu sudah ada. Jika di belakang pohon-pohon jati itu adalah hutan, maka di depan pohon-pohon itu adalah tanah lapang yang hijau ditumbuhi rumput, tak ada satupun pohon yang tumbuh di sana, tanah lapang itu dirawat oleh warga di sini dan sering dijadikan lapangan sepak bola atau digunakan untuk merayakan hari-hari besar.
Lapangan itu adalah batas antara yang terlihat dan yang tak terlihat. Sudah banyak sekali kasus anak yang menghilang ketika masuk di antara pohon-pohon jati itu. Raut wajah sang Kepala desa itu sedikit cemas ketika menceritakan perihal anak-anak yang hilang. Pasalnya, kira-kira setiap kurun waktu dua sampai tiga tahun pasti ada sekitar satu atau dua anak yang hilang dari desa mereka. Beliau mengatakan bahwa anak-anak susah untuk diberitahu dan dilarang, jadi kasus anak hilang di sini sudah lumrah. Taeyong dan timnya pun menggangguk mengerti dan berpamitan.
.
.
.Taeyong, Johnny, Doyoung, Yuta dan Mark masih duduk di teras rumah yang mereka sewa. Mereka sedang mengecek segala persiapan survei pertama mereka yang akan mereka lakukan esok hari.
"Kita harus menyewa dua kapal lagi untuk menyeberangi sungai ini." Taeyong menunjuk lokasi sungai yang terpampang di peta.
"Aku akan mencari tempat menyewa perahunya." Yuta menimpali.
"Oke, kita bagi jadi dua tim bagaimana? Tim A : Aku, Yuta, Mark dan 2 pekerja. Tim B : Johnny, doyong dan 3 pekerja. Setuju?" Usul Taeyong.
"Oke setuju." Jawab Mark.
"Yang bertanggung jawab atas alat-alat kita di masing-masing tim adalah aku dan Johnny, yang mengawasi pekerja adalah Mark, Yuta dan Doyoung. Konsumsi : Doyoung. Setuju?" Tanya Taeyong.
"Oke." Jawab Doyoung yang tak keberatan dengan tugas gandanya.
"Dua hari lagi kita berangkat, tetap jaga kesehatan kita." Ucap Taeyong sebagai ketua.
Mereka pun bubar kecuali Taeyong yang masih ingin menikmati malam di teras itu. Ia meminum kopinya sambil membalas chat-chat penting di ponselnya. Tiba-tiba Taeyong mendengarkan suara lirih.
"Kau kah itu? Seseorang yang bisa menolong adikku?" Ucap sebuah suara.
Taeyong mengalihkan atensinya dari layar ponsel. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Ia tak mendapati siapa pun. Jadi ia berkesimpulan jika itu bukan suara manusia. Semenjak ia kecil, ia dianugerahi penglihatan dan pendengaran yang sensitive. Berbicara dengan sesuatu yang tak dapat dilihat oleh orang lain sudah biasa baginya.
Ia lalu menatap layar ponselnya lagi.
"Ada rumah besar di tengah pulau ini. Ku mohon pergilah ke sana, adikku membutuhkan pertolongan." Ucap suara itu lagi.
Kini Taeyong menoleh ke arah kiri karena suara itu berasal dari sana. Ia mengamati dengan seksama perempuan cantik berbaju putih yang memelas di samping kirinya, ia tahu bahwa wanita itu adalah roh.
"Rumah?" Taeyong bertanya.
"Malam ini aku melihat kalian berkumpul di aula besar, kalian membicarakan batas jati. Jika kau masuk pada tanggal 1, 2 dan 3. Kau akan menemukan rumah itu." Ucap perempuan itu.
"Lalu apa untungnya aku menolong adikmu?" Tanya Taeyong dengan tidak antusias.
"Yang terjebak di sana bukan hanya adikku sebenarnya. Banyak anak-anak yang terjebak di sana tapi mereka sama sekali tak punya ingatan tentang kehidupan mereka sebelum masuk ke rumah itu. Banyak pembunuhan di sana, aku salah satu yang terbunuh." Wajah perempuan itu berubah sedih.
"Kapan-kapan aku akan memikirkannya, maaf aku sedang sibuk dengan pekerjaanku untuk saat ini. Mungkin setelah pekerjaanku selesai aku bisa membantu." Ucap Taeyong.
"Kau sungguh baik hati." Puji perempuan itu.
"Siapa nama adikmu?" Tanya Taeyong.
"Wendy. Kulitnya putih bercahaya, rambutnya lurus dan panjang, ia punya mata burung hantu dan telinga kelelawar sama sepertimu. Kau akan langsung mengenalinya jika melihat matanya, ia bermata biru. Aku yang akan menuntunmu jika kau pergi ke rumah itu." Ucap perempuan itu.
Taeyong hanya mengangguk. Perempuan itu terbang masuk dalam kegelapan malam. Taeyong sedikit tak yakin dengannya karena sebelum ini banyak sekali roh-roh yang tidak jelas mendatanginya kemudian meminta tolong dan berujung pada hal-hal yang tak penting. Taeyong menyeruput kopinya lagi. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pantai.
Lelaki itu merebahkan dirinya di atas pasir pantai. Ia melihat bintang-bintang begitu luar biasa indah dari sini. Pemandangan langit malam ini sangat berbeda ketika ia melihatnya dari lantai atas rumahnya.
Tiba-tiba perempuan berbaju putih lusuh tadi sudah duduk di samping Taeyong. Perempuan itu mengikuti apa yang dilakukan Taeyong, memandang bintang.
"Aku tak berbohong tentang adikku maupun rumah itu, percayalah." Perempuan itu menoleh, ia melihat wajah Taeyong lamat-lamat. "Aku percaya kau adalah orang yang baik hati, aku yakin kau bisa mengeluarkan adikku dari tempat terkutuk itu." Mohon perempuan itu.
Perempuan itu meletakkan jari telunjuknya di atas kening Taeyong, tepat di tengah-tengahnya lalu ia menggerakkan jarinya turun sampai ujung hidung lelaki itu.
"Tanda itu akan membuat Wendy mengenalimu, akan aku usahakan untuk melindungimu dan teman-temanmu ketika kalian sedang bekerja di dalam hutan." Perempuan itu tersenyum lalu ia menghilang.
Taeyong hanya diam, ia masih menikmati bintang-bintang sambil menimbang-nimbang apakah ia akan membantu perempuan itu atau tidak.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonceng Bambu ✔️
FanfictionSebuah rumah tua di dalam hutan bambu yang rimbun. Tatkala angin bertiup, berbunyi lah lonceng-lonceng bambu yang menggantung di teras rumah itu. Taeyong dan Wendy berdansa bersama di antara dua dunia yang menempel satu sama lain, namun bersekat. St...