Saat terpikir untuk mengakhiri semuanya, ungkapan "Ini awal ceritaku", sepertinya lebih baik daripada "Ini akhir ceritaku".
_________________________Aku menengadah ke atas, melihat langit malam yg penuh bintang. Bukannya tadi akan turun hujan? Huh, bahkan langit saja cepat berubah. Kenapa hidupku tak kunjung berubah?
Setelah puas memandang, mataku pun terpejam, merasakan hembusan angin malam yang menerpa wajah penuh tangis ini. Tanganku juga sudah merentang, seakan siap menghadapi semuanya. Berkali kali-kali ku pikirkan, apakah tindakanku ini benar? Yaa aku tau ini sangat tidak benar, aku sangat tau. Tapi, bernafas setiap hari rasanya sangat berat, seperti menahan nafas di dalam air.
Sekarang di depan mataku sudah terbentang sungai yang luas. Aku tinggal merealisasikan ucapanku, pergi bertemu Mama dan berakhir bahagia. Tidak ada yang di rugikan dan tidak ada yang merugikan. Hidup pun aku juga tidak tau untuk siapa. Jadi, "Lebih baik aku mati!" ucapku lirih masih dengan air mata mengalir.
"Benarkah?" kudenar seseorang berucap. Seseorang yang tiba-tiba berada di sampingku. Kurasa, ucapannya itu juga ditujukan kepadaku. Ku buka mataku dengan cepat dan menoleh ke arahnya.
"Kenapa menatapku? lompatlah!" katanya.
"Aish!" umpatku. Orang ini bahkan tidak memberikan kata-kata penyemangat untuk ku. Tentu saja tidak ku pedulikan. Kembali ku arahkan pandanganku kedepan dan menutup kembali mataku. Percuma orang ini tidak ada niatan menghalangiku sama sekali. Malah bagus dia disini, bisa menjadi saksi dan aku akan segera masuk berita di televisi.
"Aah, sepertinya air sungai ini dalam dan arusnya deras," katanya.
"Kasihan sekali ikan-ikan kecil yang terbawa arus," aku masih mendengar celotehnya.
"Oh, sepertinya banyak bebatuan juga, mungkin akan sakit jika terbentur," lanjutnya.
"Dan-""Hei diamlah! kau merusak konsentrasiku!" ku turunkan tanganku yang tadinya membentang berubah mengusap kasar pipiku yang basah kemudian menoleh ke arahnya.
"Berkonsentrasilah! aku hanya mengatakan apa yang aku lihat!" ucapnya.
"Itu menggangguku!!" ucapku mulai berteriak kesal. Tidak niat menghalangi tapi banyak mengomel.
"Oke oke aku akan pergi, lanjutkan saja aksimu itu, dan selamat menikmati hidup barumu nanti!" ucapnya santai sambil pergi.
"Yaa pergilah! sebelum ku ajak juga kau menikmati hidup baruku!" teriak ku kencang karena dia sudah semakin jauh.
Ck, dasar cowok aneh. Hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. "Sok keren sekali," gumamku kesal.
"Lagipula siapa yang benar - benar akan melompat," aku turun dari pinggir jembatan sambil membenarkan ransel kecilku yg melorot.
"Tapi aku harus kemana sekarang?"
Selain tidak punya teman, aku juga sudah kehilangan semua kontak ke saudara-saudaraku. Ayahku adalah anak tunggal, jadi tidak ada saudara dari ayahku.
Mama hanya dua bersaudara,
orangtuanya bercerai, Mama ikut Nenek dan Tanteku ikut Kakek. Dulu rumah kita lumayan dekat, aku juga masih ingat aku sering bermain dengan dua sepupuku.
Tapi Kakek dan Nenek sudah meninggal waktu aku duduk dibangku sekolah dasar. Kemudian Tanteku ikut suaminya ke kota yg lebih besar. Jadi sudah sangat lama aku tidak kontak dengan Tanteku.Waktu Mama meninggal, Tanteku tidak datang karena berada di Luar Negeri. Maklum suami Tanteku orang kaya, kerjanya pindah-pindah Kota bahkan Negara. Tiga bulan setelah Mama meninggal, Tanteku baru memberi kabar bahwa dia akan pulang. Tapi aku masih belum bertemu dengannya sampai sekarang.
"Aku rasa aku masih menyimpan nomornya," ucapku sambil ku cari-cari nomornya di ponselku.
"Oh beruntungnya aku, nomornya masih ada!" kejutku.
Tapi sekarang aku benar-benar seperti orang bodoh. Mondar-mandir sambil menggigit jariku disertai wajah gelisah pasti membuatku terlihat seperti lelucon di mata orang-orang yang lewat di sepanjang jalan ini. Berkali kali kucoba telfon nomor Tanteku, tapi tidak ada jawaban.
"Apa ini terlalu malam?"
"Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku tidak boleh putus asa. Sebelum bus terakhir ke kota hari ini berangkat aku harus bisa menghubungi tanteku!" aku bersikeras.
Tapi nihil, berkali-kali pun tetap tidak ada jawaban. Tangisku pecah kembali. Rasanya memang benar-benar tidak ada harapan lagi.
Dengan langkah gontai akhirnya aku berjalan pulang kembali ke Rumah. Jalanan mulai sepi, trotoar hanya aku yang mengisi, kakiku juga sudah mulai pegal karena berjalan dari tadi. Apa boleh buat, aku mungkin memang di takdirkan untuk hidup seperti ini. Bahkan untuk mati saja aku takut menghadapi.
Dasar cowok sialan tadi, kalau dia tidak banyak bicara mungkin aku sudah melompat, ck.
Tapi ngomong-ngomong, aku seperti mengenalnya.
Apa dia satu sekolah denganku?
DRRT DRRT.
Getar ponsel di saku menyadarkanku dari lamunan. Rasanya sangat malas mengangkat telfon dari siapapun. Tapi siapa menelfon, bahkan teman saja aku tidak punya haha.
'Tante Dewi is Calling' tulisannya. Betapa terkejut dan bahagianya aku, tanpa berfikir panjang langsung kuangkat.
"Halo Tante," ucapku sedikit menahan tangis takut nomor ini sudah tidak dipakai Tanteku.
"Halo, Clara? maaf Tante ta-"
"Hiks Tanteee," sebelum Tanteku melanjutkan ucapannya tangisku sudah sangat pecah dan membuatnya kaget. Aku menceritakan semuanya dan Tanteku sangat mengkhawatirkanku. Aku bersyukur, aku pikir aku sendirian di Dunia ini. Ternyata tidak.
Tante pikir aku tidak pernah memberi kabar karena aku bahagia dengan Ayahku disini. Lagipula aku menyadari kesibukan Tanteku, keliling sana sini untuk bisnisnya yang kelihatannya semakin maju. Mana mungkin ada waktu untuk memikirkan orang lain.
Sekarang Tante Dewi ingin menjemputku, tapi itu terlalu lama, aku tidak punya tempat lagi untuk menunggu. Jadi kukatakan padanya aku akan naik bus terakhir dan sampai di kota mungkin subuh. Untungnya Tante Dewi menyetujui dan akan menjemputku di Terminal besuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA
RomanceMaaf ya, kisahku bukan kisah yang diawali dengan bangun kesiangan, alarm yang dibanting, dan terlambat sekolah, apalagi ditambah dengan menabrak kakak kelas kemudian jadian. Maaf kisah cintaku tidak seberuntung itu. Selamat datang di kisahku, kuhara...