Jatuh

137 56 11
                                    

Pagi ini, pagi setelah kemarin malam aku mogok mengobrol dengan Kevin, aku berencana ke Sekolah dengan angkutan umum. Lagipula saat aku baru terbangun dan turun untuk sarapan, Bi Iyem bilang Kevin belum pulang.

Baguslah, batinku.

Tapi saat aku siap untuk berangkat, Kevin sudah menungguku di bawah, "Aishh!"

Sebenarnya inginku bersikap gengsi sedikit, tapi dipikir-pikir tidak lucu juga kalau aku kesasar lagi pagi ini. Alhasil kuputuskan tetap berangkat bersama Kevin.

Sedikit sombong, aku berjalan melewatinya, kemudian masuk kedalam mobil tanpa menoleh padanya.
Sebenarnya aku tidak pantas marah seperti ini. Bayangkan saja, aku yang hidup menumpang kepadanya, tapi aku marah seakan-akan aku yang menghidupinya.

Masa bodo lah!

Kuambil earphone dari dalam tas yang kubawa. Aku berpura-pura menyalakan musik padahal tidak ada yang kudengarkan. Moodku sedang tidak baik saja.

Terkadang memang seperti itu kan? Memasang earphone pada telinga bukan untuk menikmati musik. Tapi untuk mengisyaratkan pada orang lain bahwa kita hanya ingin sendiri. Tidak ingin diganggu.

Kevin mulai menginjak gasnya, mobilpun  berjalan. Aku tau dari gerak gerik Kevin sepertinya ia ingin memulai percakapan. Berulang kali ia menoleh ke arahku tanpa berucap. Sampai akhirnya dia berani bersuara ...

"Clara,"

Tapi aku ...

"Hmm hm hmmm hmm~"

Pura-pura tidak mendengar.

Maaf Kevin, aku masih sangat kesal denganmu, aku sedang malas membahas masalah kemarin. Jadi tolong mengerti aku.

Akhirnya kita hanya saling diam selama perjalanan, sampai kita tiba di Sekolah yang masih sepi ini. Oh, kurasa bukan hanya sepi. Tapi sangat sepi. Apa terlalu pagi?

Sadar masih ada sesuatu yang menggantung di telingaku, aku berjalan dengan santai sambil melepasnya dan memasukannya kedalam tas. Kevin mengekorku di belakang. Aku tau kita akan ke kelas yang sama, dengan Sekolah yang masih sepi seperti ini di kelas mungkin hanya kita yang sudah tiba. Kubelokan arahku ke arah perpustakaan. Aku tidak mau hanya berdua lagi dengannya. Karena suasana kita masih sangat canggung.

"Kau, pergilah ke kelas," ucapnya kemudian mendahuluiku.

"Huh!" kuhembuskan nafas kasar.
Aku memutar arah, kembali ke arah kelas 2-1. Aku sedikit merasa bersalah membuatnya seperti itu, tapi aku masih sangat kesal.

Langkahku masih santai hingga tidak sadar sudah sampai didepan kelasku. Kulihat ternyata sudah ada yang tiba sepagi ini sama sepertiku. Fiona.
Aku masuk sambil tersenyum padanya. Tapi ia hanya diam, bahkan mengalihkan pandangan.

Aku duduk setelah menaruh tasku pada samping meja. Keadaannya sama canggungnya seperti aku dan Kevin tadi. Jadi kuurungkan niatku untuk mengajaknya mengobrol.

"Aku tidak tau kau siapa, tapi jangan dekati Kevin," ucapnya secara tiba-tiba bahkan tanpa menoleh kepadaku.

"Ya??" aku yang terkejut hampir tidak bisa menjawabnya. Bukan terkejut karena dia tiba-tiba bersuara, tapi dengan apa yang dia katakan.

"Ah, aku dan Kevin itu se-" belum sempat aku menjelaskan, Fiona tiba-tiba berdiri dan melengos keluar kelas begitu saja.

Mungkin dia cemburu dan berfikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun juga dia sudah melihat aku dekat dengan Kevin. Kemarin mungkin dia juga melihat saat Kevin memeluk ku di sebrang jalan.
Tapi bukankah sikapnya itu terlalu dingin?

CLARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang