Yang terpedih itu bukan berpisah karena pergi, tapi berpisah karena mati.
-
-
-
-
-"Apalagi?" Tanya Ian ketika menyadari cewek disebelahnya memasang senyum jahil.
Cewek itu makin tersenyum, siang itu sekolah sudah sepi, tersisa mereka berdua dan para guru yang belum pulang.
Tentu saja keduanya habis mengikuti bimbingan belajar untuk olimpiade.Cheril. Ya, cewek itu bernama Cheril, kulit putih bersih, bulu mata lentik, kelopak mata yang indah, alis tebal, dan rambut pirang yang terurai dengan bagian bawah yang mengikal sempurna.
"Beliin gue es krim." Senyum Cheril semakin merekah, seolah membujuk ian untuk menuruti permintaan nya.
Ian menimbang kembali, bukan tentang uang melainkan kesehatan. Cheril memang menyukai semua makanan manis, tapi itu dilarang untuknya. Sebelum cewek itu semakin berharap, ian menggeleng kepala dengan cepat tanpa bicara.
"Yan, ayolah beliin." Dibalas hanya dengan gelengan pelan dari ian.
Cheril menggigit bawah bibirnya gemas, selalu saja ada batas tentang makanan kesukaan nya. "Yauda gue beli sendiri!"
Pandangan ian yang tadi terfokus ke depan, kini menatap Cheril dengan sorot dingin, yang di tatap hanya santai. "Liat gue!" Ucap ian.
Beberapa detik pandangan mereka bertemu. "Gausah bandel!" Lagi-lagi ian mengingatkan.
"Kenapa sih hal yang gue suka selalu di larang? gak bisa hidup bebas itu gak enak yan!" Sekarang cewek itu duduk di bangku koridor sekolah, pandangan nya terfokus di lantai.
Melihat hal itu, ian ikut duduk disamping Cheril. Dia tahu cewek ini frustasi atas kekangan-kekangan yang ia terima.
"Kalau banyak yang larang, artinya banyak yang sayang." Ucap ian, Cheril hanya diam tidak niat menjawab, dia tahu Ian hanya membuat berbagai kalimat penyemangat untuk dirinya.
"Lo gak boleh es krim? oke gue juga gak akan makan es krim. Lo gak boleh mie instan? mulai sekarang gue juga gak akan makan mie instan." Ian mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"Lo gak boleh terlalu cape? baik, mulai sekarang gue tidur jam 9 selesai ngerjain PR. Lo gak boleh lari-lari? oke, gua juga gak akan lari-lari waktu pelajaran olahraga." Lagi, ian mengatakan semua dengan kesungguhan, dia menganggap Cheril bagian penting dalam hidupnya. Melihat Cheril menderita adalah sebuah kepedihan besar baginya.
Ian tersenyum menghadap cewek disampingnya, "Sekarang, imbang kan?" Tanyanya.
Cheril tidak menyangka akan mendapat sahabat terbaik seperti ian, cewek itu mengangguk sembari menyungging senyum manis.
"Lo memang terbaik, makasi ian."
Ian masih betah dengan senyum nya, "Gue sayang lo." Ucapnya.
Senyum Cheril semakin mengembang, dikatakan baper? jelas Cheril baper. Apalagi yang mengungkap kan sayang adalah ian.
"Gue juga sayang lo, ian." Senyum nya manis, sangat manis. Objek yang sangat di sukai oleh ian adalah senyum Cheril.
Sunyi dilengkapi irama angin lembut. Disana, tampak pusaran cewek yang sangat dicintai Liantico sepenuh hati. Ian tersenyum pedih, mengingat betapa bahagia saat bersama cewek yang sekarang dibawah tumpukan tanah merah di depannya. Saat Cheril masih hidup, ketika Ian datang menemuinya, Cheril selalu bangkit dan menghampiri Ian. Sekarang Ian harap, Cheril akan datang kemudian memeluknya. Tapi semua orang tahu, harapan Ian tidak akan terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aldarez (On Going)
General FictionCewek seperti dia memang mirip singa, iya singa buas yang siap menerkam siapapun, termasuk keluarga nya. Aldarez adalah salah satu keluarga yang mempunyai tahta, kekuasaan, dan tentunya harta yang berlimpah. Tapi siapa yang menyangka, Divanka Ghresy...