"Kecil, wajahmu meraut sedih
Siapa yang berlayar pergi
Melatihmu sendiri
Menertawakan sunyi
Sampai hatimu lupa
Terbiasa perih.."- Seperti Tulang, Nadin Amizah.
--
Atas pertanyaannya barusan, Maya tahu bahwa Om Sam dan Ibunya terdiam karena merasa bersalah padanya. Padahal, 'kecacatan' yang ia miliki bukan salah mereka, seratus persen bukan salah mereka. Maya tidak mengerti kenapa mereka selalu menampilkan wajah bersalah seperti sekarang ini saat bersamanya atau jika ada orang yang belum tahu tentang dirinya.
Maya berdeham, "Lex? Kamu belom tau, ya?" tanya Maya kepada Alex yang kini sedang mengerutkan keningnya heran. Pelan, cowok itu menggelengkan kepalanya. "Belom."
Gadis berambut cokelat itu lantas mengangguk, "Nanti, ya, kalo udah sampe aku kasih tau." usai berucap demikian, kemudian Maya mengarahkan kepalanya ke arah wanita yang duduk di sebelahnya, terlihat, Ibunya sedang mengulum bibirnya. "I am okay, Mom. Lagian, aku juga enggak suka main panas-panasan gitu. Don't be sad.." ucapnya yang dibalas oleh senyuman dan tatapan haru dari sang Ibu. Ujung bibirnya tertarik saat melihat senyum itu, dia juga ikut tersenyum.
Meski Katreena tahu bahwa apa yang diucapkan oleh putrinya tidak sepenuhnya benar, ia tidak mengucapkan kata yang sebetulnya ada di benaknya. Dia tahu kalau Maya berbohong. Maya suka bermain, terlebih jika mainnya di bawah terik sinar matahari. Selalu ia perhatikan, anak itu sering menatap jendela, melihat keseruan teman sebayanya yang sedang bermain di luar rumah, lalu seakan mengisi keseruan mereka kala bermain, sinar matahari ikut hadir diantara sorak sorai tawa mereka. Melihat itu dari balik jendela, Maya ikut tertawa, seperti ikut serta dalam permainan yang mereka ciptakan.
Selalu seperti itu.
Sampai Maya mengatakan padanya bahwa ia ingin memiliki seorang teman. Selama di Australia, tempat kelahirannya, tidak pernah ada yang mau bermain dengannya. Alasan mereka cukup sederhana kenapa mereka enggan; karena menurut mereka, Maya adalah orang yang sombong. Jelas mereka berpikiran seperti itu, sebab, setiap mereka ajak Maya main ke luar saat siang hari, Maya menolaknya. Selalu. Untuk urusan sekolah pun, Maya tidak bersekolah formal.
"Aku ... Bosen sendirian terus." Itu kata yang Maya ucapkan padanya dua bulan lalu. Memang, Maya mengatakannya diiringi dengan tawa ringannya, tapi di iris mata gadis itu, Katreena temukan kehampaan yang selama ini Maya coba enyahkan.
Katreena menatap lekat putri cantiknya, lalu di detik berikutnya tangannya bergerak untuk mengusap lembut pipi Maya lalu menarik tubuh ringkih gadis itu ke dalam dekapannya. Tidak ada kata yang diucapkan oleh Katreena, pun dengan Maya. Mereka sama-sama terdiam.
Di tempatnya, Sam hanya dapat mengembuskan napas seraya memijat pelipisnya. Sedang Alex, terlihat tidak terlalu peduli tentang sepupunya.
Setibanya di kompleks perumahannya, Alex menginterupsi Tante Katreena dan Maya untuk segera bersiap untuk turun. Katreena mengangguk lantas mengucap kata terima kasih kepada Alex yang dibalas oleh cowok itu dengan anggukan singkat. Katreena kini melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam lima lewat dua puluh menit pagi. Melihatnya, diam-diam Katreena mengembuskan napas lega. Setidaknya, masih ada waktu untuk membawa Maya ke dalam rumah tanpa terkena sinar matahari.
Sesampainya di pekarangan rumah Sam, yang lebih dulu turun adalah Alex, diikuti dengan Sam setelah pria itu berhasil memakirkan mobilnya dan mematikan mesin mobilnya. Dia dan Ayahnya bergerak untuk menurunkan koper-koper milik Katreena dan Maya. Sedangkan kedua perempuan itu beranjak masuk ke dalam terlebih dahulu. Awalnya Katreena menolak, dia mengatakan bahwa dirinya bisa menurunkan koper-koper miliknya dan Maya sendiri, namun karena Sam bersikukuh untuk menurunkan benda tersebut, alhasil Katreena pasrah lalu mengajak Maya masuk.
Satu detik setelah kakinya menginjak lantai rumah pamannya, tatapannya langsung jatuh pada sebuah foto yang menggantung di dinding dekat sana. Tanpa sadar ujung bibirnya terangkat melihatnya. Pada foto itu, ada dua orang. Yakni Sam dan Alex. Sam merangkul Alex sedang Alex tertawa seraya menatap ke arah Ayahnya. Sungguh, dapat Maya rasakan kehangatan yang tercipta di antara keduanya.
Sam yang baru saja masuk sambil membawa koper lantas menyelutuk tatkala ia melihat Maya yang sedang tersenyum karena melihat foto dirinya dan Alex.
"Iya, om emang ganteng, May, Alex kalah."
Mendengarnya, Maya terkekeh. "Ih, dasar!"
Sam tertawa kemudian memberikan koper yang dibawanya kepada Alex yang kini sudah tidak membawa apa-apa lagi. Alex mendesah, namun tak pelak ia ambil koper dari tangan Ayahnya. "Tapi nanti kasih uang jajan lebih, ya, Yah." ujarnya kepada sang Ayah yang dibalas oleh delikan sang Ayah.
"Ajak Maya ke kamarnya gih," perintah Sam. Pria itu lalu menatap Maya dan mengelus puncak kepala anak itu. "Sana, May. Ke kamar kamu dulu, mandi sekalian. Abis itu kita sarapan nasi uduk."
"Nasi uduk? Apa tuh, Om?" tanyanya. Dia memang tahu bahasa Indonesia, faktor Ibunya yang memang warga asli Indonesia, alhasil dia jadi diajarkan bahasa negeri ini oleh beliau. Namun kalau soal kuliner negara Indonesia, dia belum banyak tahu.
"Udah, pokoknya enak deh itu makanan, sana ke kamar dulu aja. Dianter Alex, tuh."
Lantas, Alex dan Maya mengangguk bersama. Langkah keduanya beriringan. Selama di perjalanan menuju kamarnya, Maya banyak bertanya pada Alex yang membuat Alex kewalahan sendiri untuk menjawab rentetan pertanyaan gadis itu.
Melihat punggung kedua anak itu sudah hilang ditelan jarak, baru lah Sam memudarkan senyumnya. Pun dengan Katreena yang kini berdiri di sebelahnya.
"Gimana soal perkembangan Maya? Apa kata dokter?" tanyanya kepada Katreena. Wanita itu lantas menggeleng seraya menghela napas. "Aku gak yakin kalau Maya bisa sembuh. Kata Dokter Vreya, kemungkinan Maya akan sembuh total dari kelainannya itu cuma sepuluh persen."
Sam terdiam cukup lama, lalu ketika ia tersadar, dia menepuk pundak Katreena, seakan tengah memberi kekuatan. Katreena tersenyum, tentu bukan sebentuk senyuman asli. Tapi mau bagaimana pun, Sam hargai itu.
"Karena Xeroderma Pigmentosum itu, kebahagiaan Maya banyak yang terenggut. Masa-masa kecil yang seharusnya ia habiskan bersama teman-temannya untuk bermain di luar justru tidak ada. Dan masa-masa remajanya yang seharusnya ia berkencan atau sebagainya, juga tidak ada. Maya anak yang baik dan cantik, Sam. Salah dia apa sampai Tuhan beri dia hal semacam ini?"
Bicara soal Xeroderma Pigmentosum, adalah suatu penyakit genetika atau kelainan bawaan pada kulit yang menyebabkan penderitanya tidak dapat terkena sinar ultraviolet. Kulit penderita Xeroderma Pigmentosum bila terpapar sinar matahari akan timbul luka bakar, bercak-bercak, dapat melepuh dan muncul kerusakan pada DNA. Itu lah sebabnya kenapa Katreena sangat sedih akan penyakit yang diderita putrinya. Risiko terburuk pada penyakit itu adalah ... Maya akan mati jika terpapar sinar matahari dalam kurun waktu yang cukup lama.
"Kat, bagaimana kalau di Indonesia, Maya akan menemukan seorang teman. Seorang teman yang membuat dia nekat untuk keluar? Kamu tahu sendiri, sejak Ayahnya pergi, Maya menjadi semakin kesepian. Atau gimana ... Kalau teman yang saya maksud itu adalah Alex?" Akhirnya, tanya yang sudah lama ada di benaknya kala Katreena mengatakan bahwa ia ingin ke Indonesia dapat ia cetuskan juga. Bersamaan dengan tanyanya yang tercetus, Katreena meneteskan air matanya.
Susah payah, Katreena menahan air itu, namun ia tidak mampu karena membayangkan kalau seandainya yang dikatakan oleh Sam adalah benar.
Bersambung...
Mohon maaf, jangan ngarep hal yang manis-manis ya di cerita ini, karena itu gak ada. Yang ada cuma kepaitan dan kesakitan, hwhw. Eh tapi engga ko, ga gelap-gelap banget ceritanya, bener deh🙂Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membacanya ya! Luv you❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekantung Euforia
RomanceElang percaya, bahwa hidupnya belum sepenuhnya hancur selama Maya ada di sisinya. Elang selalu yakin, dunianya tetap tak apa asal Maya ada di sana, menemaninya. Tetapi pada suatu masa, Elang merasa bahwa dirinya sudah tak terselamatkan lagi. Dia han...