10. Pilu Yang Dibalut Harap

72 32 16
                                    

"Seperti hadirmu di kala gempa,
Jujur dan tanpa bersandiwara.."

- Hujan di Mimpi, Banda Neira.

______________

Maya memejam sesaat, kemudian dengan perlahan, napasnya ia embuskan. Kedua sudut bibirnya yang sempat melonggar ia tarik kembali, menciptakan seulas senyuman tipis yang mampu menyalurkan energi baik pada dirinya.

Ibu jarinya kembali bergerak, menggilir postingan Elang yang lainnya. Pada tahun-tahun lalu, pemuda itu terlihat aktif di media sosial, namun pada tahun ini-tepatnya pada lima bulan lalu-Elang belum memposting apa-apa lagi. Entah apa alasannya, tetapi yang Maya yakini, bahwa hal demikian tidaklah baik. Lima bulan belakangan ini, Elang tidak lagi mengcover lagu-lagu seperti sebelumnya, Elang tidak lagi mendaki gunung seperti yang pemuda itu sering lakukan, Elang tidak lagi memposting permainan dirinya yang sedang bermain gitar akustiknya, dan Elang tidak lagi memposting foto gadisnya.

"... Di suatu waktu, berita konyol gue denger dari semua stasiun TV. Mereka semua bilang kalo Maya pergi, untuk selama-lamanya."

Ucapan Elang beberapa jam lalu ketika Alex, dirinya, dan Elang sedang berbicara di ruang tamu kembali terputar dalam ingatannya. Suara itu terdengar begitu parau di telinga Maya atau di telinga siapa saja yang mendengarnya, kesakitannya begitu nyata meski hanya sebatas sebuah ungkapan pernyataan.

Maya mengigit bibir bagian bawahnya pelan, mengkhawatirkan tentang keadaan Elang selama ini. Semenderita apa Elang selama ini? Apa semenderita dirinya? Atau lebih?

Maya mengembuskan napas lagi, kemudian ia melirik jam yang menggantung di dinding kamar, sudah jam sepuluh, waktunya ia tidur. Maya melenguh, tiga detik setelahnya, kantuk menghampirinya.

"Hoam.."

Alih-alih langsung mematikan ponselnya dan menyegerakan menutup matanya, Maya justru kembali menggilir ke atas layar ponselnya untuk menemukan postingan Elang yang tadi tengah bernyanyi. Tidak lupa, kan, dengan keputusan Maya sebelumnya bahwa cover-an Elang akan jadi pengantar tidurnya? Ya, itulah sebabnya ia berlaku demikian.

Maya tersenyum lagi tatkala suara indahnya Elang menelisik indra pendengarannya. Sebelum Maya benar-benar terlelap, dia membisikan tiga kata untuk seseorang yang keberadaannya mulai penting bagi dirinya. Berharap di kejauhan sana, Elang menerimanya dengan baik.

"Selamat malam, Elang."

Lalu, tidak lama setelah itu, nyawanya terlepas dari raganya untuk sementara waktu. Maya tertidur pada akhirnya.

- 🍂 -

Sementara itu, di tempat Elang berada, dia baru saja menghela napasnya dan kini pemuda itu tengah mengambil tas ransel dari dalam jeepnya. Berita baiknya, dia sudah menemukan kost-an untuk ia tempati beberapa waktu ini. Seusai ia membayar biaya kost itu kepada pemiliknya yang kini ia kenali bernama Bu Hany, pemuda itu melangkah gontai menuju kost kecil tersebut.

Sesampainya ia di dalam sana, Elang langsung menyalakan lampu pada ruangan itu. Ekor matanya menyapu bersih seluruhnya, kemudian embusan napas panjang dan seulas senyuman tipis terbit detik itu. Ditaruhnya tas ransel hitam empunya di sisi ruangan, lalu dengan gerakan lelah, ia merebahkan tubuhnya di kasur palembang yang disediakan pemilik kost itu.

Pikirannya tiada henti menayangkan kembali kebersamaannya dengan Maya tadi. Elang tersenyum lalu tidak lama ia tertawa, akhirnya, akhirnya mereka pulang ke tubuh seorang pemuda yang buntu akan harapan ini lagi. Rampung sudah segala hal yang rumpang di sukmanya karena gadis itu. Mayanya.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang