05. Misi Terakhirnya Elang

96 38 13
                                    

"Aku mendakimu jauh sampai patah kaki,
Sedang kau mati suri berdendang sendiri,
Sejak itu Tuhan sebut kita sia-sia-"

- Tuhan Sebut Sia-sia, Amigdala.

----

Hal pertama yang Elang lakukan untuk merelaksasikan misi terakhirnya adalah mencoba menghubungi nomor telepon Alex yang untungnya masih ia simpan. Namun sayang, nihil hasilnya ketika ia sudah lebih dari lima kali menghubungi nomor tersebut. Nomor Alex tidak bisa dihubungi. Besar kemungkinannya bahwa Alex sudah mengganti nomor telepon.

Elang menghela napas. Setelah Alex mengatakan kalimat yang mampu membuat ia membisu kala itu, Alex menyeret kakinya, pergi dari hadapannya dengan tatapan terluka. Sewaktu Alex pergi, Elang tidak menahannya atau mengejarnya, membuat Alex semakin yakin bahwa Elang memang tidak membutuhkan teman seperti dirinya. Tanpa Elang ketahui, hal itu membuat Alex menjadi mengiakan ajakan sang ayah-yang pada mulanya anak itu menolak mentah-mentah karena dia beranggapan di Bandung ada Maya dan Elang. Namun siapa sangka, ketika Sam, ayahnya, ingin menolak pekerjaan di Jakarta sebab Alex tidak ingin ikut pindah ke sana, dengan suara yang lantang Alex justru datang ke ruang kerjanya dan mengatakan bahwa ia ingin. Bahkan harus di hari esok juga pindahnya.

Elang melangkahkan kakinya ke jendela kamarnya. Menatap nanar bangunan besar yang berada di seberang rumahnya. Rumah itu terlihat sepi, berbeda seperti satu setengah tahun yang lalu. Rumah itu pun terasa sungguh sunyi, berbeda seperti satu setengah tahun yang lalu. Elang tersenyum pedih, menyadari hal apa yang membedakannya. Elang tahu, karena rumah yang kini sedang ia tatap sudah bukan lagi Alex penghuninya.

Dulu, Alex selalu menyalakan lampu-lampu tambahan di kamarnya, lalu Alex juga menyalakan speaker miliknya-menyetel lagu rock yang membuat rumah itu jadi terasa sangat hidup. Tidak seperti sekarang.

Bangunan di seberang sana masih ia tatap, tanpa interupsi ingatannya menarik langsung sukmanya ke masa-masa dirinya dan Alex sewaktu masih bersahabat. Alex yang selalu membuatnya kesal tiap kali anak itu membuat konser rock dadakan di rumah. Alex yang selalu merengek untuk diizinkan menyalin pekerjaan rumah yang sudah Elang kerjakan. Alex yang selalu mengajaknya membeli biskuit bayi karena katanya itu adalah makanan favoritnya. Alex yang selalu mengirimkannya stiker-stiker 'aneh' di WhatsApp. Alex yang sering menginap di rumahnya dengan dalih, "Ayah gue galak, gak kayak lo, lemah lembut." padahal Elang tahu bahwa Alex tidak mau membiarkannya sendiri di malam hari. Alex yang berusaha merebut Maya-nya. Dan Alex yang ... Merelakan gadis kesayangannya untuk tetap bersamanya.

Sampai pada akhirnya, bahwa Tuhan lah yang merebut Maya dari sisinya, bukan Alex.

Elang mengepal kuat tangannya hingga buku-buku tangannya memutih. Kemudian, keras-keras ia memukul dinding dengan napas memburu. Baru ia sadari, bahwa dirinya bukan hanya merasa bersalah pada Alex, namun dia juga merindukan orang itu.

Muncul satu ide lagi di kepalanya, dengan cepat ia meraih ponselnya yang sempat ia lempar ke atas ranjang. Begitu benda pipih itu ia dapat, dia langsung mencari nama grup angkatannya. Usai grup itu ditemukan, ibu jarinya berhenti bergerak, mengudara di atas layar. Elang mengulum bibirnya, menimang-nimang akan idenya. Dia berencana ingin menanyakan ke teman-teman satu angkatannya tentang perkembangan Alex setelah pindah dari SMA Bina Bhakti. Siapa tahu di antara mereka ada yang mempunyai nomor telepon Alex yang baru.

Sekitar hampir dua menit ia terdiam, akhirnya jari-jemari Elang menari di atas layar dengan cepat. Menciptakan sebuah kalimat yang Elang sendiri tidak yakin akan ada yang mau menjawabnya, mengingat bahwa dirinya adalah seorang yang tidak ramah di sekolah.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang