02. Sebentuk Usaha

231 59 73
                                    

"... Banyak yang tak ku ahli, begitu pula menyambutmu pergi."

Rumpang, Nadin Amizah.

______________________

Sudah hampir lima jam Elang menunggu kabar dari Tante Davia, namun kabar itu belum juga datang. Elang sudah tidak berharap apa-apa lagi. Karena dia tahu, semakin ia berharap, semakin tak terbentuk lagi dirinya akan terjangan sang realita. Tapi tanpa ia sadari, dia berdoa, dia berdoa untuk kebaikan Maya. Sekali lagi. Meski Elang tahu dia bukan hamba-Nya yang taat, dia tetap memohon dengan segenap sisa serpihan dari dirinya kepada Tuhan. Meminta lalu merintih kepada Sang Kuasa perihal keselamatan Maya.

Dia masih sama. Masih menjadi Elang yang sama. Elang yang terduduk lemah di bangku kayu teras rumah seraya menatap nanar hujan yang mengguyur kota. Wajahnya terlihat gusar, menanti-nanti akan kabar yang dijanjikan Tante Davia kepadanya. Sekelebat bayangan tentang hal-hal yang ia ketahui dan juga yang tidak, kembali melumurkan pilu dalam sukmanya.

Ponsel pintar milik Elang bergetar, ada pesan masuk untuknya. Awalnya ia tidak peduli akan hal itu, namun karena tiba-tiba pikirannya tertumbuk pada Tante Davia, dia langsung memeriksa pesan tersebut. Benar ternyata, pengirim pesan itu adalah Tante Davia. Ketika ia membaca tiap-tiap kalimat yang dikirimkan, semua syarafnya seakan menjadi tidak berfungsi.

Tante Davia
Jasad Maya belum juga ditemukan, hanya jasadnya yang belum ditemukan, Lang. Tim SAR masih berusaha mencari sampai tiga hari atau paling lama seminggu, tapi kalau hasilnya tetap nihil, ikhlaskan Maya pergi, ya?

Ikhlaskan Maya pergi, ya?

Apa mereka yang mengatakan ikhlas semudah membalikan telapak tangan untuk melakukannya? Semua orang tahu bahwa ikhlas adalah proses yang panjang nan sulit, namun kenapa sebagian dari mereka meminta-bahkan seakan memaksa-untuknya cepat-cepat ikhlas?

Elang meremas ponselnya, lalu di detik selanjutnya ia melempar benda pipih itu ke sembarang arah. Dia sudah tidak ingin mengetahui apa-apa lagi. Dia sudah teramat kesakitan. Elang lelah. Elang ingin menyerah. Elang sudah tidak berdaya. Seumpama porselen yang sudah berumur puluhan tahun, begitulah Elang saat ini; tersentuh sedikit, ia pun hancur.

Elang hancur dan tak terselamatkan lagi.

"Maya..." lirihnya seraya memukul dadanya berkali-kali. Berharap rasa sakit yang ada di sana bisa lenyap. Kini Elang tahu, bahwa cinta tak selamanya mudah, kehidupan terlalu kompleks, dan masa depan terlalu tak pasti.

- 🍂 -

Lima bulan berlalu sejak berita jatuhnya pesawat yang ditumpangi Maya. Kabar buruk yang disampaikan para Tim SAR tentang gadisnya itu tidak ia terima. Dia tidak percaya. Kembali, dia mendatangi kantor Tim SAR itu untuk bertanya, lagi. Berharap berita yang disampaikan oleh mereka empat bulan lebih lalu itu masih sementara. Semoga ada kabar baik hari ini.

Tapi setelah ia mendatangi kantor itu, kekecewaan lah yang menyambutnya. Ternyata sama. Tidak ada yang berubah. Dengan tubuh yang melemas, dia pun akhirnya keluar setelah dia diusir secara paksa oleh security di sana karena dia telah membuat keributan.

Di pinggir jalan, ia menengadah. Pendar sang mentari yang semula memancar dari sela-sela awan sore di petala langit senja kini telah hilang ditelan oleh gelapnya selimut malam yang kelam. Susah payah, Elang menyeret kakinya. Entah akan kemana. Dia tak memiliki arah lagi setelah kalimat yang ia dengar dari mulut mereka adalah kalimat yang sama saat beberapa bulan lalu. Mereka mengatakan bahwa Maya tidak berhasil ditemukan. Jasad gadis itu menghilang tanpa tahu dimana.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang