16. Terpana, Entah Untuk Yang Ke Berapa Kalinya

98 13 18
                                    

"I just wanna love you right, free you so you shine your lights, can't you see it?"

- Intentions, Pamungkas.

_______________

Usai membaca seluruh aksara yang ditorehkan oleh Maya pada secarik kertas tersebut, senyum Elang merekah. Lamat, ditatapnya wajah elok seorang gadis di sebelahnya yang juga sedang tersenyum hingga sedikit lesung di pipi tirusnya terlihat. Kemudian, di detik selanjutnya Maya berdeham. "Beneren bisa, kan, Lang?"

Tentu, tanpa pikir panjang—atau mungkin memang Elang tidak berpikir lagi-pemuda itu menggerakkan kepalanya, mengangguk. Menciptakan sebuah tepukan tangan singkat dari gadis di sebelahnya. Elang terkekeh hingga tertawa kecil, meski jauh di dalam lubuk hatinya ia pun merasakan hal yang serupa dengan Maya; kesukaran. Karena, Elang dan Maya adalah dua persona yang telah lama ditinggal oleh percaya, sampai percaya itu kembali hadir, namun dengan cara yang sulit diterima oleh akal. Dihidupkannya mereka oleh ia, mengawang pada jumantara semu, hingga nanti, luluh lantaklah jiwa beserta raga mereka di ambang pilu.

Lalu, sembari mengembuskan napas, Elang bangkit dari posisi duduknya. Berniat ingin pamit dari sana karena dia sadar, waktu sudah semakin larut. Melihatnya, Alex ikut bangkit. Kemudian, tanpa interupsi apa-apa, dirinya membawa Elang ke dalam dekapannya. Membisikan kata terima kasih berkali-kali, seolah, hari esok tak lagi diperuntukkan bagi mereka.

Sejenak, daksa Elang membeku. Namun tidak lama, ketika seluruh kesadaran telah menjadi kuasanya lagi, tangan Elang bergerak, menepuk pundak Alex dengan afeksi yang luar biasa untuk sahabatnya. Meski hanya sebuah tepukan singkat, keduanya tahu, bahwa dengan bahasa yang berbeda, mereka saling mengemban mampu masing-masing; menyayangi satu sama lain. "Bule gak boleh cengeng lagi, ya." Disertai dengan kekehan, kalimat itu tertutur dari mulut Elang. Alex mengangguk patuh.

"Besok kesini jam berapa?"

Ketika sudah sampai di ambang pintu utama, Maya yang juga ikut mengantar Elang sampai ke luar lantas bertanya, membuat Elang terdiam sejenak seolah tengah berpikir lalu menjawab. "Sekitar jam sembilan pagi, ya, May."

Untuk menanggapi jawaban Elang, Maya mengangguk-anggukan kepala. Lalu, tangan Elang bergerak, mengelus dengan lembut puncak kepalanya sembari tersenyum tulus. "Sampai jumpa, Maya Asheika."

Setelahnya, Elang berlalu dari sana dengan mobil jeep empunya. Maya terdiam, hingga tak lama, saat Elang membunyikan klakson untuk sekali lagi mengucapkan selamat tinggal untuk hari ini kepada Alex dan Maya, gadis itu mengangkat tangannya ke udara, melambai-lambai sampai mobil milik Elang sudah tak nampak dari pandang.

"Dah, Lang!" Suara Alex yang berdiri di sebelahnya membuat Maya diam-diam tersenyum. Suaranya begitu halus, berbeda saat Alex berbicara padanya yang justru terdengar ketus.

Di detik selanjutnya, Alex mengajak Maya untuk kembali masuk, Maya mengangguk saja. Diikutinya langkahan kaki Alex yang dua kali lipat lebih panjang daripada langkahannya. Dengan asa yang tak jua padam, Maya terus membayangankan keseruan di hari esok bersama Elang pada tiap-tiap langkah kecilnya.

"Maya." Yang dipanggil lantas menoleh ketika dirinya sudah kembali menduduki sofa dan menikmati kacang hijau yang tadi belum sempat ia habiskan. "Kenapa?"

Wanita anggun yang memanggilnya barusan lantas duduk di sebelah Maya seraya mengelus puncak kepala gadis itu. Ekor mata Katreena seolah tengah berjalan; meneyelisik balutan tubuh Maya dengan kulit yang telah terjadi pigmentasi hingga menimbulkan bercak lebih gelap dari kulit biasanya. Ketika ia beri sentuhan ringan pada kulit putrinya, Katreena dapat merasakan bahwa yang disentuhnya itu sungguhlah tipis dan rapuh, membuat dadanya seketika saja seolah tengah dihimpit, sesak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang