04. Bentuk Sebuah Maaf

126 45 23
                                    

"... Masih banyak yang belum sempat, aku sampaikan padamu-"

- Pilu Membiru, Kunto Aji.

--

Katreena menatap tepat manik mata Sam. Mencoba untuk menemukan ketenangan yang biasa ia dapatkan kala menatap lekat iris itu, namun sayang, kali ini dia hanya menemukan ketakutan. Lantas Katreena menggeleng, mencoba mengenyahkan apa-apa yang telah terbentuk di kepalanya tentang kemungkinan paling buruk yang diucapkan oleh Sam barusan.

"Enggak Sam, enggak mungkin. Aku pastikan itu." katanya. Setelah itu, dia melangkah menjauhi Sam menuju dapur untuk mengambil segelas air mineral. Usai didapat dan meminta izin, dia langsung menenggak habis minuman itu dengan napas memburu.

Sekejap, ia memejamkan matanya guna mengusir ketakutan yang seakan ingin menangkapnya lalu mengurungnya dalam pilu. Tetapi sialnya, kala ia memejamkan mata, justru bayangan tentang habisnya Maya lah yang ia saksikan dalam kegelapan. Dengan cepat, dia kembali membuka kelopak matanya bersamaan dengan setetes kristal yang pecah detik itu.

- 🍂 -

Usai mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya pada Alex hari ini, Maya melambaikan tangannya kala Alex mengatakan bahwa ia ingin pergi ke kamarnya setelah cowok itu mengantarkan dirinya ke kamar yang selama satu bulan ini akan ia tinggali. Maya mengembuskan napas seraya menutup pintu, sejauh matanya memandang, dia begitu terpesona hingga membuatnya merasa bahwa dirinya ingin sekali menangis senang. Dinding berwarna putih gading dan langit-langit kamar itu yang ditempelkan sebuah rekaan matahari membuat dirinya berjengit senang-sampai menitikan air mata harunya-sekaligus membuatnya tidak bosan-bosan untuk mengatakan kalimat, "Woah, it's really beautiful!"

Lalu ia membanting tubuh ringkihnya ke atas ranjang. Senyumnya belum juga memudar. Lalu satu tangannya terangkat ke arah langit-langit kamar itu, jari jemari cantiknya bergerak bebas seakan tengah mencoba untuk meraih rekaan matahari yang tertempel di atas sana. Dia terkekeh melihat tingkahnya sendiri. Lalu saat ia memejamkan mata di detik selanjutnya, figur seorang pria bertubuh besar dengan senyum yang merekah indah menyapanya kala ia terpejam.

"Ayah..." lirihnya. Dalam kegelapan itu, sosok Ayahnya mengulurkan tangan kepadanya. Namun belum sempat bayangnya meraih tangan itu, Ayahnya sudah lebih dulu berbalik badan. Bergerak lalu menjauhinya. Sampai ... Sosok itu tidak lagi ia temukan. Sekalipun dalam kegelapan.

Maya membuka matanya dengan napas yang memburu. Gusar, ia mengusap wajahnya. Nelangsa yang dirasanya sekarang masih sama seperti hari dimana ia kehilangan sang ayah kala itu. Ia mengembuskan napas seraya menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak boleh hancur lagi untuk kali kedua. Masih ada Mamahnya, masih ada beliau yang tinggal.

Kemudian ia menarik tubuhnya untuk bangkit dari posisi semula. Maya kembali mengulas senyum manisnya. Dalam hati ia meyakinkan dirinya bahwa dia sudah terlampau hancur dan sudah tidak ada lagi badai yang mampu menghancurkannya. Dengan gontai, ia melangkah menuju koper yang berada di sebelah nakas. Cermat, ia mencari pakaian yang cocok untuk saat ini. Usai didapat, Maya sesegera mungkin memasuki kamar mandi yang terletak di luar kamar.

Dia baru ingat akan ucapan pamannya perihal makanan Indonesia tadi. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati makanan itu. Maka dari itu dia mandi dengan gerakan terburu-buru.

- 🍂 -

Elang selalu punya cara untuk menepikan rasa sedihnya. Dia akan selalu memetik gitar milik Ayahnya lalu melantunkan sebuah lagu. Selalu. Sedihnya selalu dapat hilang dengan ia melakukan hal itu. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Gitar di tangannya sudah tiada lagi berguna.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang