15. Segera, Hancur Mereka Paripurna

55 16 11
                                    

"Kutergetar saat menatap kedua matamu
Melahirkan seutas keinginan 'tuk memilikimu,
Kian bertahan memendam raut wajahmu,
Kulihat sebuah jalan yang langsung menuju batinmu."

- Ada Di Sana, Danila Riyadi.

_____________________

Elang bergeming di tempat usai membaca seluruh pesan yang dikirimkan oleh Tante Davia. Gawai di genggaman ia remas kencang. Rasanya, dia ingin berteriak, mengatakan dengan lantang kepada siapa saja bahwa dia tidak sedang hidup dalam jumantara semu, dia sedang hidup di realita yang penuh akan rasa sakit, di loka biru inilah dia berada, mendera luka itu, sendirian.

Bilamana ada yang mengatakan bahwa salah adalah ia, maka benar bukanlah mampunya. Yang jadi miliknya hanyalah kecacatan, ketidaksempurnaan, dan ketidaksucian. Di mata banyak raga, Elang egois. Memaksakan kehendak sang takdir hanya untuk dirinya sendiri. Banyak yang tahu juga kalau dia adalah tokoh paling bodoh sejagat raya, yang tak mengerti bagaimana caranya untuk menerima mala itu, dan yang hanya menunggu sang sembuh datang menjemputnya.

Padahal sembuh yang ia damba kedatangannya itu lengkara untuk ada, sembuh itu tidak akan datang menjemputnya, selama apapun dia menunggu. Dia tetap akan berada di dunianya yang buram dan berserak, karena sembuh itu belum tercipta.

Pemuda itu lantas memejamkan matanya dengan kepala yang masih tertunduk dalam. Napasnya kini terasa satu-satu, dadanya kian menyempit. Sesak dirasanya begitu nyata. Rebahlah air yang ada di pelupuk, kemudian pecah di atas lantai. Seluruh perhatiannya terhadap sekitar dalam sekejap telah lenyap, tergantikan dengan bayang kecemasan perihal hari esok.

Merangkak, waktu merangkak-rangkak bergerak, pelan, pelan sekali sampai kesakitan itu membuat atmanya mengerang. Segala sorak sorai kebahagian orang-orang di sekitarnya tentang hari ini terbungkam baginya, riuh yang berisik kini hanya ada di dalam jemalanya, tempat segala apa-apa yang telah terjadi bermuara.

Hingga sang indurasmi sudah berpendar cantik di langit malam, dirinya baru beranjak sedikit dari posisi semula. Kini dia tengah menyaksikan acara kuis di salah satu televisi swasta. Susah payah, ia menggapai oksigen yang tersisa di ruangan yang kini hanya tertinggal dirinya dan Alex yang baru saja selesai membersihkan diri setelah tadi, Maya melakukan hal iseng yang membaluri wajah juga beberapa bagian dari tubuhnya dengan krim dari kue cokelat secara sengaja. Sekarang, gadis itu sedang berada di dapur bersama Bi Ninggsih membuat makanan asli Indonesia.

"Lex," Suara Elang terdengar serak ketika memanggilnya. Lantas Alex menanggapinya dengan dehaman panjang. "Kenapa bisa gini?" tanyanya melirih.

Yang ditanya mengerutkan kening, tak mengerti akan maksud dari pertanyaan itu. "Maksudnya?"

Elang menghela napas, "Kita ... Kenapa ... Bisa?" ujarnya sembari meremas kedua telapak tangannya yang terasa dingin.

Namun Alex masih tidak mengerti, pertanyaan yang sama ia ulang lagi, membuat Elang berdecak kecil. "Kita ada di sini, dengan kebingungan-kebingungan yang nggak kita punya jawabnya, kenapa bisa?" ujar Elang pada akhirnya. Alex mengerjap-erjapkan matanya. Seolah masih tak memiliki daya untuk menjawabnya, ditunggunya Elang sampai bersuara lagi.

"Harusnya gue nggak di sini, harusnya gue udah di neraka sekarang, tapi kenapa bisa gue ada di sini cuma karena di rumah sepi itu, gue kembali lihat jaket pemberian gue buat lo? Rasa yang dari dulu gue coba bunuh justru semakin kuat pertahanannya yang buat gue pada akhirnya lari ke sini, nemuin lo. Kenapa bisa gue kembali denger suara Maya setelah berita itu gue terima? Kenapa bisa lo nggak tahu apa-apa soal ini?" Napas Elang tertahan, kepalanya terasa pening. Kelu ia rasa pada mulutnya, tetapi berhenti tak ingin ia lakukan.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang