14. Ditegur Oleh Sang Nyata

41 14 4
                                    

"Jika 'ku sandingkan 'ku dengannya, tiada habis lara. Yang ada hanya tangis belaka dan berbuah luka."

- Dari Sebuah Mimpi Buruk, Danila Riyadi.

________________

Setitik air hasil dari segala bentuk lelahnya kemudian luruh, merebah di pipinya sebagai gambaran yang pantas atas ketidaksanggupannya terhadap apa-apa yang selama ini erat dalam merengkuhnya. Menyadari hal itu, cepat-cepat Sam memalingkan wajah sembari menyeka air tersebut dengan kasar. Tetapi sayang, secepat apapun ia menepis segala kesedihannya, tetap kasat mata hal itu di mata Maya. Seperti tengah mengulitinya, kedua netra gadis itu menatap raga ringkihnya dengan tatapan yang sukar untuk diartikan.

"Ayah, ini kuenya. Dimakan, ya.."

Dan sekali lagi untuk hari ini, Sam menatap iris kosong putranya ketika ia ingin membalikan badan. Dengan susah payah ia meraih segala kekuatannya yang tersisa agar mampu menghadapi Alex. Napasnya yang terasa kian menipis ia tarik dalam diam, kemudian perlahan diembuskanlah napas yang sarat akan keputusasaan itu.

"Ya, terima kasih." Usai menerima pemberian Alex, Sam langsung pergi dari sana dengan kepala yang tertunduk menuju kamarnya.

Di tempatnya, Maya mengerutkan kening. Dirinya merasa ada yang aneh terhadap Pamannya, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu kepadanya. Dan dia pun tahu jika Pamannya tidak baik-baik saja, tentu karena air mata yang sempat jatuh dari pelupuk Paman Sam barusan sumbernya. Maya menipiskan bibir, dalam diamnya tengah berpikir keras perihal upaya apa yang dapat ia lakukan agar pamannya ingin mengatakan kegundahan itu padanya.

"Den Alex, mau Bibi buatkan rujak nggak?"

Tak lama keterdiaman merengkuhnya, beberapa sekon setelahnya sirnalah hal itu dari jemala Maya, beralih dengan rasa penasaran terhadap makanan yang tadi disebutkan oleh Bi Ningsih kepada Alex. Lantas, tubuhnya mengarah condong ke Bi Ninggsih dengan binar yang cemerlang pada iris cokelatnya.

"Apa, tuh, Bi?" tanyanya dengan rasa penasaran yang menggebu.

Bi Ninggsih tersenyum kepadanya. Diiringi dengan tawa renyahnya beliau, kalimat berunsur jawaban lantas terucap. "Rujak itu makanan tradisional khas negara ini, Neng Maya. Terbuatnya, tuh, dari campuran buah-buahan terus dikasih bumbu pedes gitu. Duh, enak pokoknya. Mau ya cobain? Bibi buatkan dulu."

Maya kemudian mengangguk-anggukan kepalanya penuh semangat. Kedua ibu jarinya pun terangkat mengudara dengan senyumnya yang tak jua pudar dari wajah cantiknya. "Mau, mau, Bi. Makasih banyak, ya!"

Bi Ninggsih pun berlalu dari sana, bersiap untuk membuatkan makanan tersebut untuk ketiga anak muda itu. Sembari menunggu Bi Ninggsih, Alex menyarankan Elang dan Maya untuk kembali duduk dan menyantap kue yang sudah ia potong untuk mereka. Keduanya lantas mengangguk bersamaan.

"Lang, kamu, kan, katanya mau jadi penyanyi, coba, dong, kamu nyanyi." Di selang-selang khidmatnya mereka menyantap kue cokelat itu, Maya berujar kepada Elang yang membuat pemuda itu meringis mengingat catatan perihal lagu yang ia buat khusus untuk Maya tertinggal di Indekosnya sebab tadi pagi ia terburu-buru datang kemari.

"Mau gue ambilin gitar?" tawar Alex yang terlihat juga mendukung ucapan Maya.

Membayangkan jikalau Alex pergi dari sini untuk mengambil gitar dan dirinya hanya tinggal berdua dengan Elang lalu terjadi percakapan canggung seperti beberapa menit yang lalu, Maya bergidik. Dengan cepat ia menepis tawaran Alex seraya bangkit dari posisinya. "AKU AJA YANG AMBIL, LEX!"

Tanpa menunggu persetujuan dari Alex maupun Elang atas ucapannya, Maya langsung pergi dari sana dengan langkah kaki yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Alex terkekeh melihat Maya, sedangkan Elang hanya tersenyum seraya menatap lekat punggung gadis itu.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang