11. Kesalahan Paling Sakral

65 27 29
                                    

Kala kedua kelopak matanya terbuka perlahan dan napasnya sudah tidak lagi satu-satu, matanya refleks perpendar hampir ke seluruh ruangan serba putih yang kini seakan mengurungnya. Dalam hati ia bertanya, tetapi tidak lama, ada satu hal yang mengambil alih perhatiannya. Membuyarkan segala tanya tentang ruangan serba putih tanpa sekat, jendela, dan pintu tersebut. Dari jarak yang tidak jauh dari tempatnya, berdirilah seorang anak laki-laki yang terlihat sedang kebingungan, seolah anak itu telah kehilangan sesuatu; arah. Tepat ketika melihatnya, sesak dirasanya nyata.

"BUNDA!" Teriak anak itu keras. Kedua telapak tangannya terkepal kuat seakan hal itu mampu meminimalisir ketakutan yang merengkuh dirinya. Teriakan itu tidak disambut, membuat anak kecil itu menangis pada akhirnya. Tetapi anak itu tidak menyerah, lagi ia berteriak dengan suaranya yang mulai parau.

"AYAH!"

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Lima detik.

Tetap tidak ada sambutan. Dirinya dan anak itu sama-sama terdiam, berharap akan datang sebuah keajaiban akan suatu hal yang sejak tadi anak itu harapkan; kehadiran kedua orang tuanya.

Tangis anak itu semakin menggila, tubuhnya yang ringkih terjatuh tatkala ia menyebutkan nama seorang gadis yang ada di benaknya tetapi hasilnya juga sama, tidak ada sambutan maupun jawaban. Ketika tubuhnya sudah tidak lagi memiliki tenaga dan sukmanya sudah tidak lagi memiliki asa, cahaya itu lantas hadir membuat kepalanya yang semula tertunduk dalam menjadi tegak kembali.

Anak itu bergeming di hadapan seorang pria bertubuh besar yang sedang tersenyum manis, seolah abai terhadap tangisan anak itu. Kemudian tangan pria tersebut bergerak untuk mengelus puncak kepala si anak bertubuh kurus di hadapannya. "Elang, anak Ayah.."

Pria itu mengembuskan napas ketika Elang menyeka dengan kasar air matanya. Jantungnya seakan diremas sampai untuk bernapas lagi ia sudah tiada memiliki kuasa melihat kemalangan anaknya. "Kamu anak yang kuat, maafkan Ayah."

Anak itu, Elang kecil, mengangguk singkat seraya tersenyum ke arah pria yang tadi mengatakan adalah ayahnya. "Jangan pergi, Yah, Elang ... Gak bisa sendirian. Elang gak bisa kenal siapa-siapa di sini."

Sungai terbentuk di pelupuk mata seorang pria yang kini merendahkan tubuhnya untuk menyamakan tingginya dengan Elang kecil. Lalu, seraya memeluk Elang erat, dia mengatakan, "Tapi kamu bisa kenal diri kamu sendiri. Bukan dari wajah, tapi dari sini," Rengkuhan itu dilepas ketika pria itu mengarahkan tangannya tepat ke hati putra kecilnya. Tempat di mana segalanya bermuara dengan sebenar-benarnya.

Tidak lama setelah sentuhan di hatinya dirasa, sesak yang semula ada seketika lenyap tak bersisa, digantikan dengan ketenangan yang tak terdefinisikan oleh dirinya sendiri. Elang menangis lagi di sana, memandang ayahnya dengan sorot terluka serta mengemis pertolongan.

"Elang takut, Yah, Elang gak mau sendirian." ujarnya sembari memeluk tubuh ayahnya. Dalam diam dia berharap ayahnya akan memeluknya dan mengatakan, "Ayah gak akan ninggalin kamu." Tetapi nyatanya, tidak demikian. Terlalu mahalkah apa yang ia damba itu? Terlalu tidak mungkinkah apa yang ia inginkan itu? Elang tidak tahu. Yang jelas, Elang marah pada takdir. Elang marah pada Tuhan. Elang marah pada siapa saja yang tidak bisa tetap tinggal di sisinya sedang ia selalu berusaha untuk pantas didampingi oleh mereka.

Lama kelamaan, sosok itu membias. Sosok ayahnya tidak lagi ada di hadapannya. Hilang sudah pria itu dari indera. Lagi, Elang kecil menangis hingga meraung keras. Tetapi tidak lama, ada air yang jatuh tepat di puncak kepalanya. Awalnya, Elang kecil tidak peduli, tetapi karena air itu jatuh berkali-kali, lantas anak itu menengadah.

Sekantung EuforiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang