Hari ini adalah hari yang sukses membuat hati Kiera hampir melompat ketika menyerahkan naskah cerita ke salah satu penerbit terkenal di Jakarta. Sudah lebih dari satu tahun ia menulis cerita dan mengumpulkan keberanian untuk mengirimkannya ke penerbit. Selain karena banyaknya dorongan untuknya, ia juga bertekad ingin menunjukkan bahwa ia bisa menghasilkan sesuatu yang berguna dari hobinya itu. Menulis.
Setelah seminggu menghabiskan waktu untuk memeriksa hasil tulisannya dan semalaman menunggu hasil cetakan dari printernya. Ia merapikan naskahnya, bahkan hingga pagi ia memeriksa kembali hasilnya. Walaupun masih penuh keraguan untuk mengirimkan ke penerbit, tapi ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ia punya saat ini.
Tangannya agak gemetar memasuki gedung penerbit Atlanta. Menunggu di ruang tunggu hingga namanya di panggil dan masuk menemui salah satu editor. Ruangan yang tidak terlalu besar, tapi begitu banyak tumpukan naskah cerita yang mengantri di samping meja kerja editor tersebut. Melihat tumpukan itu, Kiera langsung merasa bahwa ceritanya masih jauh di bawah standar penerbit dan minat pembaca.
Ia menyerahkan jilidan naskah ceritanya ke editor yang setengah mengalihkan pandangannya dari layar komputernya. Muda. Tampan. Pikiran pertama yang terbesit dalam benaknya ketika melihat wajah sang editor, walaupun ia belum menunjukkan wajahnya secara keseluruhan. Sontak degup jantungnya semakin cepat ketika sang editor memalingkan pandangannya dari layar komputer dan menatap Kiera.
Editor tersebut menerima naskah cerita Kiera dan berdiri untuk menjabat tangan Kiera. Tangan yang ramping, tapi cukup berotot. Kiera ikut berdiri dan ia sempat terpaku melihat tangan pria bertubuh tinggi yang menjabat tangannya saat ini, hingga sang editor berdeham, ia baru melepaskan tangannya. “Okay, saya Theodore, anda bisa memanggil saya Theo, dan jangan dengan sebutan 'Pak' karena saya belum setua yang anda kira,”
“Eh, iya, saya Kiera, salam kenal,” sesaat ia menyadari kebodohannya. Ini bukanlah sebuah kopi darat dengan pria tampan dan bertubuh altetis, kenapa ia mengucapkan ‘salam kenal’? Gerutunya dalam hati.
Tampaknya Theodore tidak menggubris ucapan Kiera dengan serius, karena ia juga tidak menyadari wajah Kiera yang tersipu. “Baik, saya sudah membaca sinopsis yang anda tulis, dan nanti saya akan menghubungi anda untuk memberitahukan bahwa naskah anda diterima atau tidak,”
“Sekitar berapa lama, ya kira-kira?”
Bola mata Theodore bergerak ke atas sedikit seperti sedang berpikir. “Sekitar dua atau tiga bulan lagi,”
Kiera berdiri dan memberikan senyum kepada Theodore, “Terima kasih,” ucapnya sambil menjabat tangan Theodore lagi.
“Sama-sama,” Theodore membalas uluran tangan Kiera dengan ekspresi datar, tapi tetap terlihat keren bagi Kiera.
Kiera keluar dari ruangan masih dengan degup jantung cepat, menatap tangan kanannya yang habis menjabat tangan Theodore dua kali. Apa aku sedang berada di negeri dongeng sehingga aku bisa bertemu dengan seorang pangeran? Sayang dia tidak menunggangi kuda putih dan membawa mawar. Ucapnya dalam hati.
“Ah! Apa yang kamu pikirkan Kiera? Ini bukan mimpi dan tadi adalah editor dari penerbit, seharusnya tadi aku bersikap lebih sopan lagi,” gerutunya sambil menyusuri trotoar untuk menuju stasiun.
Masih sore, kenapa sudah gelap? Pikirnya. Kiera mendongakkan kepalanya dan melihat banyak awan kumulus berbaris di langit, siap untuk menjatukan peluru-peluru air. Ia mempercepat langkahnya, tapi baru beberapa langkah cepat, butiran-butiran air hujan sudah menyerang kepalanya. Ia berlari ke arah halte untuk berteduh.
Orang-orang berdatangan untuk berteduh, tapi kembali melanjutkan perjalanannya setelah mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Apa pula pengendara-pengendara motor yang menepi hanya untuk mengenakan jas hujan. Kenapa aku lupa membawa payung? Umpatnya dalam hati. Lama hujan tidak berhenti dan jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam.