Eleanor melemparkan bola kertas ke kepala Kiera ketika dosen sedang menulis di papan. Kiera membuka kertas itu dan membaca isinya.
‘Theo sudah sadar!’
Tangan Kiera agak gemetar karena menulis dengan cepat untuk membalas pesan Eleanor dan melemparkan kertas itu kembali kepada Eleanor.
‘Kamu tahu dari mana? Bagaimana keadaannya sekarang?’
Eleanor membalasnya agak lama karena melihat dosen yang sudah membalikkan badannya. Setelah melihat keadaan agak aman, ia melempar kertas itu kepada Kiera lagi.
‘Tadi aunty Britanny yang kasih kabar ke aku, katanya dia sekarang hilang ingatan parsial. Selebihnya, aku nggak tahu.’
Baru Kiera melempar kertas itu kembali ke Eleanor, Pak Robert sudah menyebut nama mereka dengan nada tinggi. “Kiera! Eleanor! Bapak sudah memperhatikan kalian dari tadi, saya menulis di papan bukan berarti saya tidak tahu apa yang di lakukan murid saya! Keluar kalian dari kelas saya!”
Kiera dan Eleanor merapikan buku mereka dan memasukkannya ke dalam tas dengan patuh, lalu keluar dari kelas. “Kebetulan! Sekarang ayo kita ke rumah sakit!” Kiera langsung menarik tangan Eleanor begitu ada di depan kelas.
“Eh! Kita itu sedang di hukum, kenapa malah jadi kabur?” Eleanor menghempaskan tangannya hingga tangan Kiera terlepas.
“Kalau kamu tetap mau di sini, biar aku sendiri saja yang ke rumah sakit, aku harus melihat keadaan Theo sekarang,” sahut Kiera sambil terus melangkahkan kakinya ke pintu utama kampus.
“Okay! Aku mengalah, aku juga ikut ke rumah sakit,” Eleanor menyusul Kiera yang sudah di ambang pintu.
Selama perjalanan, Kiera terus menggigiti kukunya dengan wajah cemas. “Kenapa harus menggigiti kukumu terus? Jangan seperti anak kecil! Theo sudah sadar, berarti tidak ada lagi yang perlu kau cemaskan,”
“Tapi Theo hilang ingatan... Apa itu berarti dia juga melupakanku?” ucap Kiera lirih.
Eleanor mengusap-usap punggung Kiera. “Kita belum lihat keadaannya, jangan negative thinking dulu,”
Kiera langsung keluar dari mobil, tepat setelah Eleanor memarkirkan mobilnya. Sontak Eleanor juga ikut berlari menyusul Kiera. Ekspresi wajahnya tidak terbaca begitu ia sampai di depan ruang ICU.
“Kenapa?” tanya Eleanor yang baru sampai di dekat Kiera berdiri dengan napas terengah-engah.
“Kosong...” pandangan Kiera ikutan kosong. Sedangkan Eleanor langsung mencari pergi mencari perawat.
“Dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, keadaannya sudah membaik,” sahut seseorang dari belakang dengan nada tenang.
“Suster Mary? Kamarnya di mana?”
“Rosemary dua, di lantai lima,” jawab suster Mary disertai senyuman.
“Terima kasih!” Kiera langsung berlari menuju lift. Kiera berdecak ketika mendapati liftnya lama tidak terbuka. Ia langsung berlari ke arah tangga dan menaikinya hingga lantai lima. Napasnya terengah-engah ketika melihat Eleanor duduk di kursi koridor.
“Kamu naik tangga sampai ke sini?”
“Iya, liftnya lama, jadi aku langsung naik tangga saja, kenapa kau sudah ada di sini?”
“Dasar! Sampai seperti itu yang kamu lakukan demi melihat keadaan Theo, sana masuk,” Eleanor mendorong kepala Kiera dengan telunjuknya. Kiera hanya terkekeh kecil melihat tanggapan sahabatnya.
“Kenapa kamu tidak masuk?”
“Aku nanti saja,”
Kiera memasuki kamar inap berkelas VIP ini secara perlahan, di dalamnya ada orang tua Theodore yang masih berdiri di samping tempat tidur Theodore. Kiera memberi salam singkat kepada orang tua Theodore. Mamanya yang asli orang Amerika, masih cantik walaupun usianya sudah hampir setengah abad. Sedangkan papanya yang adalah orang Indonesia keturunan Chinese, terlihat jauh lebih tua daripada istrinya.
