Sebuah restoran dengan nuansa tenang, karena semua propertinya yang berwarna serba putih dan di tata rapi, dengan alunan-alunan instrumen musik klasik dan lampu yang digunakan semuanya berwarna kuning, menambahkan suasana romantis dalam gedung restoran yang cukup memiliki nama di Jakarta ini. Meskipun, dari luar, secara fisik adalah bangunan tua yang masih mempertahankan gaya Belandanya, mungkin memang gedung bekas penjajahan Belanda yang sudah di renovasi sedikit. Namun, setelah memasukinya, pemikiran tentang bangunan tua sirna, karena hal itu malah menambah keunikan dari restoran ini.
Meja-meja yang di tata hanya untuk pasangan-pasangan, dengan dua kursi dan satu meja, semuanya berada pada tepi ruangan mengeliling berdekatan dengan jendela kaca yang cukup besar. Sedangkan rongga kosong yang berada di tengah adalah lantai dansa bagi pengunjung yang menikmati suasana restoran yang syahdu. Seluruh pengunjung yang datang ke restoran ini tampaknya adalah sepasang kekasih.
Theodore menuntun Kiera yang berjalan bersandingan dengannya untuk duduk di sudut ruangan. Layaknya seorang gadis yang istimewa, Theodore menarik kursi terlebih dahulu untuk Kiera, baru kemudian ia duduk di hadapannya. Sesaat mata mereka bertemu pandang, ada sedikit kejanggalan di hati Theodore yang tidak ia mengerti, tapi belum berani ia pelajari dan memahaminya.
Ia memberikan seulas senyum sebelum memalingkan pandangannya ke buku menu yang ada di hadapannya. “Kamu mau pesan apa?” tanyanya pada Kiera.
“Aku tidak tahu makanan di sini, bahasa dalam menunya saja aku tidak mengerti,” jawab Kiera setengah berbisik.
“Okay... Untuk makanan pembuka saya pesan soupe a l'oignon gratinee dan foie gras... lalu makanan intinya saya mau boeuf bourguignon dan coq au vin... yang terakhir untuk penutup saya pesan tarte tartin dan creme brulee” ucapnya dalam bahasa Perancis yang cukup fasih sambil menunjuk-nunjuk tulisan di buku menu.
“Untuk minumannya?” tanya pelayan restoran itu dengan nada yang ramah dan masih dalam bahasa Perancis.
“Saya mau latte macchiato...” ucapannya terdengar menggantung dan aneh dengan bahasa Perancis, lalu menatap ke arah Kiera untuk memintanya melanjutkan pesanan minumannya.
“Aku peppermint hot chocolate,” Theodore berbicara sedikit kepada pelayan itu dengan bahasa Perancis lagi, lalu si pelayan setelah mencatat menu yang diucapkan oleh Theodore, pelayan itu mengambil buku menu dan berjalan menjauhi meja mereka.
“Apa kau tahu minuman yang kau pesan?” tanya Theodore seperti menyelidik.
“Aku suka dengan hot chocolate, jadi tidak ada salahnya aku mencoba hal baru yang ditambahkan dalam menu kesukaanku, aku ingin tahu bagaimana rasanya hot chocolate yang manis dan kental itu jika dicampurkan dengan mint,” Kiera menyatukan jemarinya untuk menopang dagunya.
Theodore mengernyitkan alisnya, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Bagaimana jika rasanya tidak seperti yang kau harapkan?”
“Coklat dengan isi mint itu sungguh enak, aku sering dibelikan oleh papaku dulu, jika papaku ke Eropa, dan aku bisa menghabiskan satu kotak coklat mint itu dalam satu malam,” Kiera menutup matanya dan membayangkan masa lalunya yang indah.
Terdengar tawa geli dari Theodore, Kiera langsung membuka matanya dan menatapnya dengan penuh tanya. “Makanan dengan minuman itu berbeda, walaupun komponennya sama, tetapi bentuknya berbeda, dan dalam bentuk cair, semuanya akan lebih mudah menyatu,” Theodore berusaha menjelaskan pemikirannya tanpa berusaha menghentikan tawanya.
Kiera menatap sinis. “Jika aku makan coklat mint, juga akan meleleh dalam mulutku dan bercampur, tapi rasanya tetap enak,” sahut Kiera dengan nada seperti anak kecil yang sedang membela dirinya.
“Baiklah, baiklah, aku mengalah saja,” ucap Theodore yang masih terkekeh. Sesaat setelah itu pelanyan mengantarkan makanan pembuka mereka beserta minumannya.
