Kiera hanya duduk diam di dalam mobil tanpa berani mengeluarkan suaranya, begitu pula Simon yang masih memandang lurus ke arah jalan di depannya, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang mengalah untuk memecah keheningan di antara mereka, sampai Simon menyalakan pemutar musik di mobilnya.
Simon menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Kiera. Kiera sedikit menggeser posisi duduknya hingga menghadap Simon, ia menyunggingkan seulas senyum di bibirnya, tapi terkesan seperti senyum yang dipaksakan. Ia mengulurkan tangannya yang memegang kotak hitam beludru yang tadi diberikan oleh Simon.
“Aku masih belum bisa menerima ini,”
“Kenapa? Tadi kamu melawan Jeanette seakan kamu memilih aku, dan aku juga bisa merasakan kalau kamu masih mencintaiku pada saat aku menciummu tadi, kamu tidak bisa membohongiku, Kiera,”
“Aku tidak mencintai kamu, Simon, aku hanya tidak ingin Jeanette terus menghinaku hanya karena status sosial, dan kamu, jangan bersikap kasar kepada wanita manapun, termasuk Jeanette, jaga dia baik-baik,” tanpa menunggu jawaban dari Simon, Kiera langsung keluar dari mobil Simon. Ia melambaikan sebelah tangannya, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Kiera duduk di lantai kamarnya, disandarkan punggungnya ke tepi tempat tidur. Ia menarik kardus dari bawah meja belajarnya, kembali membuka semua kenangan yang telah lama ia kubur dalam-dalam di hatinya.
Ia meraih sebuah bingkai foto yang berada pada tumpukan pertama. Seorang pria bertubuh jangkung, mengenakan segaram SMA yang penuh dengan coretan warna-warni yang menandakan bahwa ia sudah lulus dari SMA, merangkul bahu seorang gadis yang melingkarkan sebelah lengannya ke pinggang sang pria. Tampak serasi.
Setetes air mata jatuh tepat di antara pria dan wanita yang ada di foto itu, sebuah mimpi buruk kembali merasuki pikirannya. Pria yang ada di dalam foto itu hampir menghancurkan hidupnya, bahkan membuatnya hampir mengakhiri hidupnya. Kiera memeluk foto itu dan merebahkan kepalanya ke tempat tidur.
Kalau aku memilih untuk menerima Simon kembali, apa ini adalah jalan yang terbaik? Lalu, bagaimana dengan Theo? Theo, dimana kamu sekarang? Kamu yang membangkitkan kembali kepercayaanku kepada cinta, tapi kenapa kamu juga yang menghancurkan kepercayaanku? Aku harus bagaimana? Apa aku harus menunggu sampai kamu mengingatku? Sampai kapan? Keluhnya dalam hati.
***
“Kiera bangun…”
“Eeehhh…”
“Kiera, kenapa kamu tidur di lantai? Ayo, bangun, cepat mandi, mama tunggu di meja makan, ya,”
“Aku tidak lapar, Ma,”
“Tidak ada alasan untuk tidak makan, mama yakin tadi siang kamu juga tidak makan, dan sekarang kamu bilang tidak lapar, tidak bisa, kamu harus makan malam, mama tunggu kamu di meja makan,”
Kiera menuruti kata-kata mamanya, ia beranjak menuju kamar mandi setelah meletakkan kembali bingkai foto ke dalam kardus dan mengembalikan kardus itu ke tempat asalnya. Setelah mandi, Kiera terlihat lebih segar, dan matanya yang bengkak dan sembab sudah tidak terlihat lagi. Ia menuju meja makan dimana mama dan papanya sudah menunggunya untuk makan malam bersama.
“Kamu baik-baik saja?” pertanyaan papanya yang tampak tepat sasaran, sempat membuat Kiera terbatuk-batuk karena tersedak makanan yang belum sempat ia telan.
“Kenapa papa bertanya seperti itu?” ia meraba-raba matanya, tapi sudah tidak menunjukkan tanda-tanda seperti habis menangis.
“Matamu memang sudah tidak bengkak, tapi mamamu sempat melihat matamu yang bengkak dan sembab itu,” Kiera memicingkan matanya menatap mamanya yang hanya tersenyum lebar hingga giginya terlihat. “Kenapa Kiera? Apa kamu masih memikirkan Theo? Atau masalahnya semakin rumit?”