Kiera menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Hari yang sangat melelahkan, tapi sekaligus sangat menyenangkan. Ia menghabiskan waktu dalam satu hari ini hanya bersama Theodore, bahkan ketika Theodore dalam keadaan tidak hilang ingatan, ia tidak pernah menghabiskan waktu seharian hanya berdua.
Kiera merenggangkan otot-otot tubuhnya sejenak di atas tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi. Ia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan jubah mandi dan agak tergesa-gesa karena mendengar ponselnya berbunyi. Ia melihat layar ponselnya yang tertera nomor tak dikenalnya.
Dengan ragu ia menekan tombol hijau di ponselnya dan menempelkannya ke telinganya. “Halo,”
“Apa ini adalah Kiera?” suara wanita dewasa yang khas dengan logat American ketika berbicara bahasa Indonesia dari seberang telepon.
Kiera langsung bisa menebak siapa yang menelponnya. “Ada apa, tante?”
“Saya ingin memberikan penawaran menarik untuk anda,”
“Apa maksud tante?”
“Jauhi anak saya, dan saya akan memberikan berapapun uang yang anda minta, ataupun barang apa saja yang anda mau, bagaimana?”
“Kalau anda memberikan penawaran seperti itu kepada saya, itu sama saja anda membeli anak anda sendiri, seperti itukah cara seorang ibu yang ingin menjaga anaknya?”
“Saya tegaskan sekali lagi, jauhi anak saya dan saya akan memberikan apapun yang anda mau,”
“Bagaimana jika saya bilang kalau yang saya mau adalah anak anda Nyonya Brittany?”
“Damn! Jangan kurang ajar kamu dengan saya!”
“Saya tidak bermaksud kurang ajar dengan anda, saya hanya menjawab pertanyaan yang mesti saya jawab. Anda tadi memberikan penawaran apapun yang saya mau, dan yang saya mau hanya anak anda, sudah jelas bukan?”
“Apa sih yang biasanya diincar oleh gadis miskin dari seorang pria yang memiliki banyak uang? Harta bukan?”
“Saya tidak butuh uang dari anda! Harga diri saya jauh lebih tinggi daripada anda!” Kiera menekan tombol merah di ponselnya dan melempar ponselnya ke atas tempat tidur.
“Dia pikir dia siapa? Bisa seenaknya saja melakukan apapun dengan uang, tidak semua hal bisa dia beli dengan uang yang dia punya! Tidak berpikiran luas!” umpatnya sembari mengambil pakaian dari lemari. Setelah mengenakan pakaian rumahnya, Kiera langsung menuju meja makan.
“Kenapa kamu marah-marah seperti itu?” tanya mamanya.
“Tidak apa-apa, Ma, hanya ada orang gila yang hanya bisa meremehkan orang kecil seperti kita,”
“Siapa?”
“Ah, sudahlah, aku tidak mau membicarakannya,”
“Baiklah, mama mengalah saja. Bagaimana dengan keadaan Theo? Apa sudah lebih baik?”
“Theo sudah membaik, tapi ingatannya...”
“Bersabarlah, sayang. Semua butuh waktu dan proses, biarkanlah semua berjalan seiringnya waktu dia bersamamu, nanti pasti dia akan ingat,”
“Aku tidak yakin bisa menghabiskan waktu dengannya lagi setelah ini, Ma,” ucap Kiera lirih.
“Kenapa? Kamu bertengkar dengannya? Atau...”
“Orang gila itu adalah mamanya Theo,”
“Maksudmu, orang yang meremehkan orang kecil? Memangnya, apa yang dia lakukan terhadap kamu? Apa dia melukaimu? Atau dia ingin mencelakaimu?”