Part 3

7.2K 298 2
                                        

Simon datang dengan pakaian santainya seperti biasa pada hari minggu pagi untuk bersilahturahmi dengan keluarga Kiera. Menghabiskan waktu di hari minggu ini dengan bercanda ria dan membicarakan masa depannya dengan Kiera. Namun, kali ini raut wajahnya berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ketika Kiera datang dari arah dapur dengan membawa beberapa gelas minuman di atas nampan, semuanya jatuh begitu saja hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.

Ekspresi Kiera tidak terbaca, matanya membelalak menatap Simon untuk memintanya mengulangi kata-kata yang baru diucapkannya kepada kedua orang tua Kiera. Ia tidak bisa memercayai indera pendengarannya atas apa yang baru ia dengar. Tubuhnya gemetar mendekati Simon yang memucat.

Akhirnya Simon mengulangi ucapannya tadi walaupun suaranya agak bergetar, tapi ia berusaha menutupinya agar terdengar datar. “Aku tidak bisa melanjutkan pertunangan kita, orang tuaku sudah menjodohkanku dengan orang lain, dan besok aku akan bertunangan dengannya, jadi aku harap kamu bisa mengerti dan menganggap kita mengakhiri hubungan kita secara baik-baik,” kata-katanya agak terbata-bata karena menatap mata Kiera yang terpancar kekecewaan yang mendalam di kedua manik matanya.

Sesaat setelah mengucapkan itu, Simon melepaskan cincin pertungannya dengan Kiera dari jarinya dan meletakkannya di atas meja ruang tamu. Segera ia berdiri dan membungkukkan badan, lalu berpamitan untuk pulang tanpa melihat lagi ke arah Kiera yang wajahnya sudah pucat pasi. Ia sudah pergi.

Kiera seperti orang yang membeku. Tidak, lebih tepatnya seperti patung, tidak bernyawa. Ia hanya duduk di sofa dengan kedua kaki dilipat hingga ke dada, matanya memerah, bukan karena menangis, ia bahkan untuk beberapa saat tidak mengedipkan matanya. Ia masih tidak bisa memercayai apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Butuh beberapa saat ia mencerna semuanya, tanpa berpikir panjang lagi, ia menapakkan kakinya di lantai dan dengan langkah gontai meraih serpihan kaca dari gelas yang pecah dan hendak menggoreskannya ke pergelangan tangan untuk memutuskan nadinya.

Papa dan mamanya secepat mungkin meraih tangannya dan mencegah tindakan Kiera, saat itu pulalah air matanya pecah membasahi pipinya. Ia terus meronta-ronta ketika papanya membopong tubuhnya ke kamarnya, sedangkan mamanya langsung membersihkan serpihan kaca sebelum Kiera melakukan niatnya lagi.

Hampir seminggu Kiera hanya mengurung diri di kamarnya, tanpa asupan makanan yang masuk ke dalam lambungnya. Sejak saat itu penyakit maagnya bukan lagi hal kecil yang bisa disepelekan begitu saja. Setelah seminggu, ia keluar dari kamarnya dengan senyum di bibirnya, walaupun matanya masih sembab dan bengkak akibat menangis.

Kiera menutup kembali kardus yang berisi barang-barang yang pernah ia terima dari Simon, ia menutup pula ingatan tentang masa lalunya. Ia tidak lagi menangis seperti tiga tahun lalu ketika Simon mencampakkannya tanpa kejelasan yang logis. Bahkan ia tersenyum setelah melihat dirinya yang sekarang sudah bangkit dengan jerih payahnya sendiri.

***

Seseorang menarik tangan Kiera dengan kasar ketika ia hendak memasuki pintu utama uniersitasnya. Ia terlonjak ketika melihat siapa yang menarik tangannya dan menggenggam pergelangannya hingga terasa perih. Pria itu melepaskan tangannya dari pergelanggan Kiera ketika melihat ekspresi Kiera yang kesakitan.

Kiera mengelus lembut pergelangan tangannya yang memerah. “Ada perlu apa lagi? Aku tidak punya banyak waktu,”

“Ada banyak hal yang perlu aku jelaskan, bisakah kita bicara?”

“Kalau mau bicara, silahkan bicara sekarang dan kamu punya waktu lima menit dari sekarang,”

“Tapi Kiera... Waktu lima menit itu tidak akan cukup untukku, terlalu banyak yang harus aku jelaskan kepadamu, dan kita tidak bisa membicarakannya di sini, kamu harus ikut aku dan kita bicarakan ini berdua,”

I Give You My DestinyWhere stories live. Discover now