DETIK

87 14 13
                                    

Detik dalam suatu irama lembut menggambarkan rasa tenang pada suatu keadaan, dalam nestapa rasa dikutuk tidak bisa bergerak, dan di ufuk semesta tanpa gravitasi, dia hanya mengambang tanpa rasa jatuh. Bukan berarti tidak jatuh adalah kata "selamat" ,tapi mengambang di ufuk semesta adalah dingin tanpa ada cinta, beku tanpa ada rasa.

Aku berharap detik terakhirku di bumi ini bermakna untuk orang lain, dengan segala bentuk penciptaan Tuhan dalam diriku, aku berjanji menjadi ciptaan sempurna dalam hal dunia perasaan, dapat mengerti perasaan orang lain, dan tidak terpaku pada perasaan sendiri.

Dengan manusia bernama Raya, aku belajar tentang arti semua itu, semua anganku sepertinya tepat ditujukan kepada Raya, bukan kebetulan. Setiap detik dalam baris-baris jalannya langkah ini, setiap ketukan arloji di pergelangan tangan ini, berisi sisa waktu hidupku di dunia, sebelum nanti aku benar-benar tiada, aku akan melakukan hal yang terbaik untuk bumiku, dan untuk segala makhluk didalamnya.

" Sis, makasih ya udah mau bantu kita berdua, eh ini ada kartu nama siapa tau kamu butuh bantuan atau sebaliknya kita yang butuh bantuan di suatu hari nanti." Ucapku sembari mengantarkan Siska pulang.

" Oh iya makasih nanti aku hubungi kok tenang aja."

" Nomer Rendi ngga minta Sis?"

" Apaan sih Ren, ngga ngga ngga mau pokoknya." Jawabnya lucu membuat Rendi semakin malu.
Dengan wajah kusut Rendi menjawab " Iya deh iya "

" Sekali lagi makasih banyak pak, Rifki sama Rendi mau lanjut dulu takut kesorean."

" Iya silahkan nak ngga perlu sungkan, hati-hati dijalan."

5.pm

Pertama kalinya 2 petualang cupu ini memijakkan kaki di ibukota, aksara alamat kita cari dengan teliti. Menuju pada Cafe di pusat kota dengan arsitektur minimalis dan sangat sejuk. Kita sudah ditunggu cukup lama karena memang tadi lumayan bingung mencari almatnya. Kita dikenalkan pada pak Marco dengan huruf "C" katanya saat berkenalan.

" Kenalin saya Marco pakai huruf C ya." Sambutnya mengulurkan tangan.

" Ini saya Rendi, dan ini rekan kerja sekaligus partner dirumah pak." Rendi mengenalkan aku dengan pak Marco.

" Rifki."

" langsung saja, jadi nanti kalian ada job dari saya, karena sekarang saya ada kepentingan mendesak jadi nanti abis Maghrib kalian ke alamat ini, silahkan pesan minuman, bill-nya biar pihak cafe yang menghubungi saya, tinggal dulu ya." Meletakan alamat dan berjalan terburu-buru.

" Gila ya Ren orang kota sibuknya luar biasa, trus gimana ini?"

" Ya gimana lagi, kita disini dulu aja sambil minum trus kayanya pemandangannya bagus, kita potret beberapa dari atas sini. "

" Iya okee deh."

Selang beberapa menit datang seorang perempuan dengan membawa kamera yang merupakan kelas tinggi atau bisa dikatakan mahal bagi kami, dia berdiri di ujung dan sepertinya hendak memotret suasana kota saat ini, apa indahnya pikirku.

" Rif, kamu liat, kamera mahal ditujukan untuk memotret macetnya Ibukota?"

" Mau gimana lagi, kota adanya suasana kaya gini, beda dengan suasana kita di pedesaan." Sahutku dengan dibarengi meminum kopi yang sudah telah datang.

" Bentar ya Rif, mau tak samperin, siapa tau bisa bantu nanyain alamat ini."

" jangan lama-lama."

Sifat sok akrab Rendi mulai dikeluarkan, dimana pun slalu ingin mengenalkan dirinya dengan dunia luar, berbeda denganku yang cenderung tertutup dengan dunia luar, penakut yang hanya berani melihat objek melalui lensa. Tidak bergerak bebas, membatasi pada langkah-langkah kecil yang bahkan debu tidak mendebur oleh langkahku, iya aku pemalu.

4RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang