JAM

28 7 26
                                    

Ada agenda lain nih jadi ikut ngaruh ke nulis deh, tapi tenang diusahain tetep kasih tulisan walau dikit oke😉

-------------------------------------

Menit-menit berharga telah kami lalui hari ini, dengan segala penciptaan Tuhan dalam wujud tubuh rapuh ini, dalam segala takdir Tuhan dalam agenda yang merujuk pada ketidakmampuan dalam menghendaki, dalam setiap keraguan yang masih saja datang, dan tentang batin yang pada akhirnya sepakat negosiasi denganku.

Mimpi demi mimpi tersusun rapih pada koridor ingatan, ada yang gagal, ada yang berhasil, dan sisanya masih menjadi angan, apakah berhasil? tentu bukan kehendakku, manusia satu ini tidak bisa menggurui garis tuhan, berjalan apa adanya tidak buruk. Dalam perjalanan panjang yang telah dan akan dilalui aku bermimpi, mimpiku sejak lama adalah memotret Big Ben.

Britania Raya, kapanpun itu, atau dengan bagaimanapun nantinya kita dipertemukan, aku pasti akan berusaha dengan tekad penuh, untuk saat ini biarlah diriku ini berjalan selayaknya takdir. Memang pada dasarnya takdir tidak slalu harus diikuti, tapi jujur Rifki saat ini hanyalah serpihan debu yang penuh dengan kebingungan.

8.pm

“ Eh btw gila yah Nik bisa bagus gini tempatnya?” Ucap kagum Rendi dengan pantulan binar lampu di bola matanya.

“ Hampir setiap waktu Ren liat kaya gini, tapi kali ini beda.”

“ Beda kenapa Nik?” Renita menyambung percakapan mereka berdua.

“ Lebih tenang dari biasanya, lebih ngerasa diri ini bukanlah manusia paling sengsara di muka bumi.”
Binar mata Renita ikut menampakkan aura sedih, “ Ngga cuma kamu ko, aku juga.”

“ Juga apanya Nit?” Tanyaku.

“ Sebenernya kalian bertiga temen yang dipikir-pikir paling akrab sampai saat ini, ya walau baru kenal.”

Niko menoleh kearahnya, “ Emang sebelumnya kamu belum pernah punya temen akrab kaya kita ini Nit?”

“ Ayah adalah pengusaha cukup terkenal di Jakarta, dengan alesan minder dan sebagainya, mereka slalu aja mikir ngga se-level denganku, setiap hampir akrab pasti ada aja alesan dia menjauh."

“ Apapun itu jangan sampai kamera menjadi pelarian yah Nit.” Ucapku melebur suasana kelam kita berempat sebagai titik balik dari segala suasana hari ini.

“ Bukan Rif, sejak kecil aku udah suka dunia fotografi, awalnya aku ngumpulin uang sendiri untuk beli kamera, tapi ngga sengaja kameraku rusak, aku sedih. Almarhum kakek menghadiahkan kamera baru di hari ulangtahunku, seneng banget rasanya, setiap momen entah itu seneng, sedih, marah pasti ada kamera ini, jadi ngga mungkin aku tega bikin opini kalau kamera ini sebagai pelarian."

Renita terlihat menyapu air tenang yang hendak menetes pada pelipis mata, “ Udah, pulang yuk, apa mau kemana lagi Rif?” Ajakan Niko yang berusaha menyudahi sedihnya Renita.

" Emmm ngga ada sih Nik, iya udah ayo pulang ke tempat Bobby lagi."

Renita berjalan dengan meninggalkan jejak kesedihan, awan yang tadinya pergi entah kemana tiba-tiba datang seakan mengiringi rasa sedih Renita, mungkin atas sedih Renita hujan ingin menemaninya malam ini, atau mungkin awan hanya sekedar menjadi peneduh langkah kecil Renita.

Rendi mencoba mengibur Renita, " Nitt, Cailah lagi sedih masih aja cantik nih."

" Diem deh ah, males bercanda."

" Tapi kalo sedihnya sampe berjam-jam parah si, bisa-bisa tadinya cantik malah jadi jelek haha."

" Rendiiiiii, udah dibilang males bercanda, males ah." Renita mempercepat langkahnya.

4RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang