Bab 1 Sosokmu yang Menjauh di Atas Motor

702 29 2
                                    

"Dek, kopi abang sudah jadi?"

"Ehhh.. sebentar..sebentar bang.. aku lupa dimana taruh kopinya ya. Dulu rasanya aku taruh di sini.." jawabku sembari membuka-buka seluruh kabinet dapur

"Selalu saja kamu seperti itu.." suamiku menukas sambil membuka satu kabinet kecil di atas kompor.

"Kopinya abang taruh di sini." Kata suamiku sambil menyerahkan botol kecil berisi kopi.

"Ooo..di situ ternyata kopinya. Eehh..bukannya dulu aku taruh di laci sebelah kulkas ya?" Aku menjawab kebingungan sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Laci sebelah lemari itu buat cangkir-cangkir dan gelas. Masa' kamu campurkan kopi ke sebelah gelas-gelas. Makin susah nanti carinya. Abang taruh di atas kompor karena disitu tempat khusus minuman-minuman.." suamiku menjawab sambil ngeloyor keluar dapur

Aku menunduk malu. Sangat malu. Sudah berapa kali aku ceroboh melakukan tugas domestik yang sebenarnya terhitung sangat mudah ini.

Kemarin aku tidak sengaja menumpahkan gula saat membuat teh, kemarinnya lagi aku salah memasukkan gula ke dalam sayur sop yang kulira adalah garam, dan kemarinnya lagi aku salah memasukkan pemutih pakaian ke dalam mesin cuci. Akhirnya baju suamiku yang berwarna menjadi belang-belang.

Dan kini.. aku tidak tahu letak-letak minuman bubuk di dapurku sendiri..

Tidak terasa air mataku menggenang di pelupuk. Kutahan erat-erat agar suamiku tidak mengetahuinya. Terlalu banyak kesalahan yang aku perbuat. Malu rasanya apabila aku menangisi kebodohanku sendiri..

"Ya sudah dek, tidak usah bikin kopi. Abang sudah terlambat ini. Daripada makin telat.." suamiku langsung pergi keluar rumah sambil menyambar tas kerjanya.

"Maaf bang.." kataku lirih. Kurasa air mataku sudah menganak sungai di pipi. Seberapa besar kutahan hasrat tangis itu, air mataku tetap tidak bisa kubendung.

"Iya..iya, tidak apa-apa dek..Assalamualaikum.." suamiku langsung pergi dengan motornya. Ngebut.

"Wa..waalaikumsallam" jawabku. Namun percuma saja, suamiku sudah pergi. Jawaban salamku tak mungkin terdengar olehnya. Aku hanya tercenung memandang punggung suamiku yang semakin menjauh. Menjauh. Dan menjauh.

Sakit sekali hatiku, bagai ditusuk ribuan jarum pentul. Aku merasa gagal sebagai seorang istri. Merasa tidak berguna. Merasa payah. Merasa malu dan tak berharga. Belum pernah aku merasa segagal ini sebagai seorang perempuan.

Suamiku begitu sabar menghadapi segenap kekuranganku. Namun, sampai kapan ia mampu bersabar? Bukankah setiap orang memiliki batas kesabarannya masing-masing? Mungkin dalam sehari dua hari, seseorang sanggup bersabar. Akan tetapi bagaimana dengan satu bulan? Dua bulan? Atau bahkan satu tahun? Sanggupkah ia tetap bersabar?

Aahh..entahlah. Di sedari pagi ini, hatiku sudah koyak tak beraturan. Tak ada pagi yang indah walaupun matahari bersinar begitu cerahnya. Hatiku pilu. Kelabu. Tak semangat sama sekali menjalani hari. Pikiranku liar berontak ke sana kemari.

Beberap menit aku termenung memandang jalan. Air mataku tetap merembes membasahi pipi. Jalanan komplek sudah kosong. Suamiku sudah tak kelihatan sejak beberapa detik ia menstarter motornya. Kembali aku merutuki diriku sendiri.

Ddrrrtttttt... drrrttttttt...

Tiba-tiba telepon genggamku bergetar di dalam saku. Kuseka air mataku, lalu kubuka layarnya.

"Rum.. jangan terlambat ya, hari ini kita ada rapat jam 8. Sudah kamu siapkan slide presentasinya?"

Kubaca pesan singkat di ponselku ku. Oh, ternyata mbak Ika. Atasanku di kantor.

Aahh..iya.. hampir saja aku lupa bahwa hari ini ada rapat penting dengan klien. Cepat-cepat aku mengapus sisa air mata yang masih menggenang dengan tisu. Aku langsung ke wastafel, mencuci mukaku dengan air agar tak terlihat bahwa aku habis menangis. Kemudian segera kuambil tas kerja dan laptopku. Kugigit sedikit roti bakar yang kubuat tadi pagi. Ada dua roti bakar di atas meja. Satu untukku dan satu untuk suamiku. Namun tampaknya suamiku tidak menyentuh roti bakarnya sama sekali. Hatiku mecelos melihat roti bakar suamiku. Dia belum sempat sarapan. Apakah aku sebegitu parahnya hingga sarapan buatanku enggan disentuhnya? Ya Alloh.. Ya Robb.. kalbuku kembali terkoyak.

"Fiiiuuuuhh.." aku menghela nafas dengan berat. Mataku kembali nanar.

"Aahh..tidak..tidak.. sudah, jangan nangis lagi Rumaisha!! Kamu ada agenda rapat penting. Sudah jangan nangis..jangan nangis.. kamu kuat..kamu kuat" Aku menepuk-nepuk pipiku. Berusaha menguatkan diri sendiri.

"Oke..Bismillah.." segera kumasukkan sisa roti bakarku dan roti bakar suamiku ke dalam kotak makan. Kusambar botol infused water yang telah kusiapkan sejak tadi malam di dalam kulkas.

Dengan tergesa aku keluar rumah dan mengunci pintu. Aku segera memesan ojek online seperti biasanya. Ketika ojek sudah tiba, tak menunggu lama, aku pun langsung menghamburkan badanku ke atas jok motor. Aku minta abang ojek untuk segera mensetarter motornya secepat mungkin. Aku tak ingin terlambat di pertemuan penting ini.

Pelangi Tak Selalu Muncul Setelah Hujan. [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang