Teardrop

15.7K 771 7
                                    

Pagi itu jalanan cukup ramai. Seperti biasa, banyak orang yang beraktifitas seperti pergi ke sekolah atau ke kantor. Kicauan burung bersahutan. Siluet pohon mengenai wajah pucat seorang gadis yang tengah terbaring di atas kasur berseprai putih polos. Alat bantu pernafasan menutup hidung dan mulutnya. Mesin osilator berbunyi pelan menandakan detak jantung gadis itu masih normal. Dari luar jendela, sinar keemasan menyinari pepohonan di samping ruangan itu.

Lantunan musik lembut dengan irama gitar di petik pelan terdengar mengisi ruangan sepi itu. Entah dari mana asalnya. Padahal di dalam ruangan itu hanya ada dia dan bayang-bayang kesunyiannya. Perlahan, gadis itu mendengar musik mendayu itu.

I'll be yours...

Someday.

I'll be yours...

Someday.

Masih dengan mata terpejam, air mata nya menetes perlahan. Membasahi bantal putih yang ada di kepalanya. Dia membuka matanya. Merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Sinar keemasan itu mengenai mata coklat muda nya. Dia mengerjap mata berkali-kali. Melihat ke sekeliling. Dia merasa asing dan tersadar kalau dia berada di rumah sakit.

Dia mencoba berpikir. Apa yang terjadi padanya. Namun dia tak ingat apapun. Dia bahkan sedikit terkejut dengan cincin emas putih yang tersemat indah di jarinya. Lantunan lagu tadi terdengar lagi. Dia masih di liputi perasaan penasaran, bingung, terkejut, dan takut. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Tidak ada orang di dalam kamar itu. Dia beralih melihat jam yang ada di atas dinding. Pukul 8 pagi.

Gadis itu masih berusaha mengingat apa yang terjadi. Dia melihat ke atas nakas di sampingnya. Ada sebuah kalender. Dia membolak-balik kalender itu. Tahun 2014? Jangan bercanda. Apa-apaan ini, pikirnya. Tidak mungkin. Apa dia tertidur selama 2 bulan? Semenjak bulan Desember sampai bulan Maret sekarang ini. Dia menangis lagi. Memegang kepalanya pusing. Dia berteriak histeris. Perasaannya campur aduk.

Suara pintu di buka membuatnya menoleh dan melebarkan matanya. Wanita tua itu segera berlari, memeluknya sambil menangis. Mengusap rambutnya lembut. Gadis itu masih terdiam tanpa suara. Dia bingung. Pikirannya melayang entah kemana. Dia ingat pada satu kejadian. Sebuah malam di bulan Desember. Ia ingat itu. Sekarang dia sudah menikah. Lalu, kata-kata tajam dari suaminya. Hingga ia pingsan karena penyakitnya kambuh.

"Mommy senang akhirnya kamu sadar," ucap wanita itu dengan senyum, mengusap pipi pucat gadis itu.

Sebuah permintaan, di balas dengan penjelasan. Gadis itu mendengar dengan baik. Malam itu, dia di temukan seorang wanita yang salah membuka kamar. Lalu melihatnya tergeletak di lantai dengan gaun pengantin. Kemudian wanita itu mengantarnya ke rumah sakit. Dan untungnya dia masih bisa bernafas. Selama 2 bulan koma, hampir mati, melupakan yang lalu?

"Dimana River?" tanyanya pelan.

"Kerja. Dia bilang malam itu dia pergi bersama temannya dan meninggalkanmu sendiri di kamar, benar?"

"Ya."

Tenggorokannya terasa tercekat dan kering. Dia mengambil air botol yang ada di atas nakas. Lalu meminumnya sampai habis tak tersisa.

"Istirahatlah. Mommy takut kehilanganmu. Mommy nggak mau kamu pergi, jaga kesehatanmu terus," katanya dengan raut cemas.

Claudia mengangguk mengerti. Dia merebahkan dirinya lagi di kasur. Pikirannya menerawang jauh. Sekarang dia berpikir bagaimana kehidupannya kedepan? Bagaimana hubungannya dengan River?

Apakah mereka bisa bersama seperti mimpi Claudia? Apakah River akan mencintainya atau menepati kata-katanya malam itu? Claudia meringis, merasakan perih di hati nya.

Lalu, apakah selama 2 bulan dia di rumah sakit, River menjaganya? River menunggunya untuk sadar? Tentu saja tidak. Bagi River, Claudia hanya kuman yang memang harus di hancurkan.

----

Claudia memandang langit malam tanpa bintang lewat jendela kamar rumah sakit. Kelihatannya hujan akan mengguyur kota Bandung malam ini.

Tidak ada yang menemaninya. Tidak ada River dan tidak akan pernah ada River. Claudia mencoba mencerna semuanya. Perjodohan, tanpa cinta, berakhir tragis, mungkin itulah yang akan terjadi padanya. Tidak, belum sekarang. Nanti dia akan merasakan kesedihan yang memenuhi hati nya.

Suara pintu terbuka membuat Claudia menoleh ke belakang. River dengan malas berjalan ke dalam ruangan itu. Claudia hanya diam tak mengerti kenapa River ada di sini.

"Claudia," panggil River sedikit sinis.

"Ya?" Dahi Claudia mengerut bingung.

"Ku kira kamu akan mati. Ternyata masih hidup ya. Coba saja waktu itu tidak ada orang yang menolongmu. Jujur saja, aku menginginkan kematianmu. Dengan begitu, aku akan tersenyum bahagia."

Claudia terdiam. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Tidak, dia tidak boleh menangis. Dia harus kuat. Kalimat tajam River memang begitu menyakitkan, tapi dia harus berusaha menguatkan diri dan hati nya. River tersenyum sinis, lalu pergi dari kamar itu. Mendengar perkataan River saja dia sudah merasakan sesakit itu.

Claudia mengerjap matanya, agar air mata itu tidak tumpah. Dia tidak menyangka ini terjadi lagi. Sampai kapan ia akan merasa sakit seperti ini. Apa selamanya?

Claudia LewisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang