2. Kerusuhan

99 7 2
                                    

"Kemarin kalian pulang jam berapa?" Ujarku keesokan harinya saat sarapan. Aku sudah duduk rapi di meja makan dengan seragam sekolah sehingga ayah dan ibu menatapku keheranan.

"Sekitar jam setengah sepuluh, kau sudah tidur." Ayahku yang menjawab. Aku hanya ber-"ohh".

"Kemarin hujan deras, sepertinya hari ini juga akan hujan." Ibu menyiapkan payung di tasku. Sungguh, benda itu tidak berguna untuk hujan deras.

"Mau berangkat sekarang?" Tanya ayah.

Aku melihat jam, baru jam setengah tujuh. Kemarin saja jam segini aku baru mandi. Mungkin karena kemarin aku tidur cepat jadi hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Sesekali datang agak pagi boleh juga.

Aku dan ayah berpamitan pada ibu kemudian kami berangkat. Saat di mobil, ayah berkali-kali batuk. Sakitkah dia?

"Ayah tidak minum obat?"

"Ah, tidak perlu. Tenggorokanku cuma sedikit gatal."

Aku mengangguk-angguk. Tidak terasa kami sudah sampai di depan sekolahku. Saat turun dari mobil aku melihat ke sekeliling, sudah banyak murid yang datang. Apa mereka selalu datang sepagi ini? Aku mendengus.

Aku masuk ke kelas dan duduk di bangkuku. Hanya segelintir murid yang sudah datang, diantaranya menatapku seolah-olah mereka sedang bermimpi melihatku datang setengah jam lebih awal.

+++

Hari ini pun, waktu berjalan sangat lambat. Kira-kira masuk ke jam pelajaran kedua, aku baru memperhatikan bahwa banyak murid di kelasku yang sepertinya sedang sakit. Dari tadi hanya suara batuk dan dehaman mereka yang terdengar. Apa karena sekarang mulai musim hujan? Biasanya saat peralihan musim tubuh kita rentan sakit.

"Uhuk-uhuk!"

Heidi di sebelahku juga terbatuk-batuk. Aku memutar bola mata. Seharusnya kalau mereka sakit mereka menggunakan masker. Malas sekali jika aku sampai tertular.

Bel istirahat berbunyi. Aku membuka tasku untuk mencari bekal sebelum Heidi menyeretku ke kantin lagi.

"Kau tidak ke kantin?" Tanyaku saat melihat Heidi masih terduduk di bangkunya.

"Uhuk-uhuk!" Hanya itu jawabannya. Dia terus terbatuk sehingga aku menyodorkan botol minumnya dan kutepuk-tepuk punggungnya.

"Kau tidak apa-apa?" Aku khawatir.

Heidi menggeleng sambil meminum airnya, tapi kemudian terus terbatuk. Dan suara batuk lama-lama terdengar dari sebagian murid yang lain juga. Suara mereka semakin lama semakin kencang dan aku menoleh ke belakang, salah satu murid perempuan menjerit ketika teman sebangkunya tiba-tiba batuk darah.

Aku jadi ikut panik. "Hei Heidi, kita ke UKS saj.."

Heidi di sebelahku muntah darah. Aku mendengar suara teriakan kencang yang ternyata berasal dari suaraku sendiri. Sontak seisi kelas panik dan suasana menjadi ricuh. Tidak cukup dengan beberapa anak yang mulai memuntahkan darah, sebagian dari mereka juga mulai kejang. Teriakan pun tidak hanya berasal dari kelasku, sepertinya kelas-kelas lain juga mengalami hal yang sama.

"Anak-anak dimohon untuk tidak panik, bagi yang sehat dimohon segera ke lapangan indoor di lantai tiga. Sekali lagi, mohon segera ke lantai tiga.." terdengar pengumuman dari speaker sentral yang terpasang di tiap-tiap kelas.

Masih shock, aku pelan-pelan keluar dari kelas dan lari ke lantai tiga. Di lorong pun sama buruknya, murid-murid batuk darah dan berjatuhan. Mereka kejang-kejang. Aku lari sekuat tenaga hingga akhirnya sampai di lapangan indoor. Ada sekitar dua puluh orang di lapangan yang tampak sedang ketakutan. Seragam dan wajah mereka bernoda darah. Aku otomatis melihat ke seragamku sendiri, ternyata sama saja kotornya dengan mereka. Aku lalu menyeka wajahku dengan punggung tangan, jaga-jaga jika ada noda darah di wajahku. Aku ngeri sekali membayangkan bahwa darah-darah yang menempel di tubuh kami berasal dari murid-murid yang terbatuk di bawah tadi. Sebenarnya apa yang terjadi?

Beberapa guru mulai masuk ke lapangan dan lima menit kemudian mereka menutup pintu masuk.

"Anak-anak, kalian tolong tetap di sini dulu sampai keadaan di bawah mereda. Kami sudah memanggil ambulans." Guru kimiaku, pak Hendra menenangkan kami.

"Ada apa ini pak?" Beberapa murid bertanya dengan nada panik.

"Kami juga sedang mencari tahu. Sepertinya mereka keracunan. Gejalanya sama, dimulai dari batuk ringan, batuk berdarah, muntah darah, lalu kejang-kejang. Bagi kalian yang batuk, tolong kesadarannya menemui saya."

Selesai pak Hendra menjelaskan, aku jadi teringat ayah. Pagi ini ayah juga batuk-batuk. Aku segera merogoh saku rok-ku untuk mengambil ponselku. Tidak ada. Ah, sial. Benda itu sepertinya masih ada di dalam tasku. Yang berarti, ada di dalam kelas. Aku tidak mau kembali ke sana lagi. Beberapa anak mulai mengeluarkan ponselnya untuk menelepon keluarganya, beberapa sepertiku. Duduk dengan pasrah menunggu instruksi selanjutnya.

Kira-kira dua jam menunggu tanpa ada kepastian, murid-murid mulai protes pada guru yang ada di lapangan. Para guru hanya bisa menenangkan. Tapi tidak lama kemudian, kami mendengar pengumuman dari sentral. "Sekolah akan di lockdown sementara. Murid-murid harap tetap tenang. Sedang ada virus yang menyerang banyak orang di luar sana, tidak aman jika kalian keluar. Sekarang seisi kota juga sedang melakukan lockdown, kalian diharap tetap berada di tempat ini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Jika kalian keluyuran di luar sana, ini akan menambah jumlah orang yang terinfeksi dan virus akan semakin menyebar. Belum diketahui darimana virus berasal dan bagaimana menyembuhkannya karena orang yang batuk darah tidak lama meninggal. Kami mohon kerja samanya."

Aku menutup mulut dengan kedua tangan usai mendengarkan pengumuman. Jadi, murid-murid yang berada di bawah tadi.. mereka meninggal? Heidi? Bagaimana dengan ayah?

Bisa kurasakan murid-murid yang lain juga shock, mereka mulai mengumpat dan menenangkan satu sama lain. Lucu sekali mereka berani mengumpat di depan para guru. Saat ini situasi benar-benar kacau balau. Aku serasa bermimpi.

"Lepaskan! Aku mau keluar dari sini!" Seorang murid laki-laki dengan marah ingin menerobos guru-guru yang menghalangi pintu masuk.

"Aku mau pulang!" Ujar laki-laki itu lagi. Para guru masih berusaha menahan sampai akhirnya laki-laki itu mendorong salah satu guru hingga terjatuh dan berhasil keluar. Beberapa murid lalu mengikuti. Beberapa masih tinggal di sini.

"Akses semua pintu di sekolah ini sudah ditutup. Kalian tidak bisa keluar dari sini untuk sementara waktu." Ujar Ms. Wahyu yang ternyata selamat dan ada di sini. Aku tidak melihatnya tadi.

Aku bisa bertahan di sini. Tapi untuk berapa lama? Tidak ada kepastian apa yang sebenarnya terjadi dan tidak ada yang tahu apa penyebabnya. Virus? Virus apa? Kenapa ada orang-orang yang tidak batuk? Seperti aku dan orang-orang yang ada di sini.

Aku menutup mata. Kuharap ayah dan ibu baik-baik saja.

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang