1. Hari Terakhir

140 5 0
                                    

Aku mematikan alaram ponselku yang sedari tadi berbunyi bising. Kulirik benda itu sekilas, jam sudah menunjukkan pukul enam lima belas.

"Aryaa, kau tidak sarapan?"

Terdengar teriakan ibu dari bawah. Aku menghela nafas dan mengusap-usap mataku beberapa kali sebelum akhirnya beranjak dari ranjang dan turun ke lantai bawah.

Saat aku turun, ibu dan ayah sedang menonton berita di TV. Aku meneguk segelas air putih sambil mendengarkan ocehan si pembawa berita. "Hari ini akan turun hujan deras bla bla bla.." aku tidak terlalu menaruh perhatian pada ocehannya.

"Jangan lupa bawa payung." Ibu mengingatkan. Aku mengangguk.

Setelah selesai sarapan, aku buru-buru mandi dan bersiap pergi ke sekolah. Sepertinya akan sedikit terlambat, tapi sudah biasa. Aku mengambil bekal yang sudah disiapkan ibu di meja makan dan bergegas keluar dari rumah tanpa berpamitan pada ibu. Lupa. Tapi, itu juga sudah biasa.

"Sial." Umpatku. Tepat saat aku keluar dari rumah, rintik hujan menerpa rambutku yang bahkan masih basah karena baru keramas.

"Cepat masuk ke mobil!" Panggil ayah dari dalam mobil. Aku memang biasa ke sekolah diantar ayah karena sekolahku sejalan dengan kantornya. Pulangnya, aku jalan kaki.

"Nanti malam kau jaga rumah." Ujar pria empat puluh tahun itu.

"Ayah dan ibu mau pergi?"

"Ya, ada acara reuni dengan teman-teman lama."

"Oke."

Saat sampai di sekolah, aku melambaikan tangan pada ayah sebelum dia tancap gas dan pergi.

"Arya!" Heidi menghampiriku. Heidi teman baikku satu-satunya di sekolah. Memang aku tidak pandai bergaul dan tergolong murid "invisible". Kau tidak akan tahu keberadaanku sampai kau lulus dan melihat wajahku di album kenangan.

"Bangun kesiangan lagi? Nyaris saja kau terlambat!" Ujarnya.

Aku meringis. Tepat saat gerbang sekolah ditutup, aku melihat Yohan. Yohan anak kelas dua belas yang cukup populer di sekolah karena sering terlambat dan membuat masalah. Seperti hari ini, dia terlambat dan tidak boleh masuk ke gedung sekolah.

Mataku dan Yohan bertemu. Dia memberiku senyuman dan tatapan yang kuartikan sebagai "Sial, aku tidak boleh masuk."

Aku membalasnya dengan tatapan iba.

"Kali ini dia terlambat sendirian." Heidi menyeletuk ditengah-tengah obrolan tanpa suaraku dengan Yohan.

"Ya, dia kurang beruntung." Biasanya kami sering sama-sama terlambat dan dihukum.

"Aku masih tidak percaya kau kenal kak Yohan, banyak yang ingin berteman dengannya dan anak seperti kita sepertinya tidak mungkin bisa menjadi temannya."

"Kau terlalu meremehkanku."

"Bukan itu maksudku." Heidi tertawa. "Pacar kak Yohan kan Theia, ratu di sekolah ini. Anak perempuan yang berani mendekati Yohan kabarnya tinggal tunggu waktu saja untuk dilabrak."

"Aku tidak pernah dilabrak."

"Karena kau juga kenal Theia!"

Ganti aku yang tertawa. Ayahku bekerja pada ayah Theia. Kami sering berpapasan di kantor ketika aku mengunjungi ayah. Tapi Theia terlalu sombong untuk menyapaku duluan, akulah yang biasa menyapanya.

"Ayo masuk, lima menit lagi pelajaran pertama dimulai."

+++

Pelajaran hari ini terasa sangat panjang dan membosankan karena terdiri dari pelajaran-pelajaran yang tidak kusukai, seperti matematika, fisika, dan kimia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pelajaran hari ini terasa sangat panjang dan membosankan karena terdiri dari pelajaran-pelajaran yang tidak kusukai, seperti matematika, fisika, dan kimia. Entah kenapa aku diharuskan masuk jurusan IPA oleh orangtuaku. Aku menurut saja karena bukannya aku tidak bisa, tapi tidak suka.

Saat bel istirahat berbunyi, Heidi buru-buru menarik tanganku dan menggiringku menuju kantin.

"Hari ini menu favoritku!" Ujarnya girang. Hari ini Rabu, memang menu makanan di sekolah kami setiap hari Rabu entah kenapa paling enak.

"Tunggu," aku melepas tangan Heidi. "Bekalku ketinggalan di kelas."

"Ah, kau makan makanan kantin saja, bekalmu kau makan waktu pulang. Sayang sekali kalau kau melewatkan menu hari ini!"

Aku menggeleng. "Nanti jadi tidak enak. Kau duluan saja, aku ke kelas dulu mengambil bekal. Nanti aku susul."

"Oke."

Saat sampai di kelas, ketua kelasku, July menghampiriku dan memberi sebuah amplop. Aku menatapnya bingung.

"Ini dari Ms. Wahyu." Katanya. Ms. Wahyu adalah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggris-ku. Masih dengan bingung, aku membuka amplop tersebut dan melihat surat persetujuan mengikuti lomba olimpiade matematika.

"Aku tidak pernah mendaftar untuk ini."

July hanya mengangkat bahu. "Sepertinya karena tidak ada yang mau ikut, dan tidak ada calon lain. Kau kan peringkat satu di angkatan kelas sebelas?"

Aku hanya menatap surat di depanku tidak percaya. Alih-alih mengambil bekal, aku malah ke ruang guru menemui Ms. Wahyu.

"Setiap sekolah diwajibkan mengutus dua orang murid untuk ikut olimpiade, guru-guru yang lain sudah memutuskan namamu dan satu anak lagi." Ujar wanita berusia awal tiga puluhan itu.

"Tapi Miss kan bisa diskusi dulu denganku."

"Maaf, waktunya mendesak. Kau sudah baca suratnya?"

Aku mengangguk.

"Kami merasa kau yang paling mampu. Oh ya, ini nama partnermu dan nomor teleponnya." Ms. Wahyu menyodorkanku secarik kertas. Kulirik tulisan di kertas itu sekilas. Lucas Ellison.

"Kau hubungi dia jika perlu, dia ada di kelas XII-A3."

Aku mengangguk lagi dan meninggalkan ruang guru tanpa protes. Sepertinya mau tidak mau aku harus ikut olimpiade matematika. Kertas yang diberikan Ms. Wahyu tak terasa teremas di tanganku hingga kusut. Aku menghela nafas. Siapa pula partnerku ini? Malas sekali jika aku harus ikut lomba dengan orang yang tidak kukenal, kakak kelas pula.

Bel tanda selesai istirahat berbunyi. Bagus, bahkan aku tidak sempat makan siang.

Saat pulang sekolah, hujan turun dengan deras sesuai ramalan cuaca. Aku pun pulang ke rumah dengan taksi karena percuma saja pakai payung jika aku jalan kaki di hujan sederas ini, pasti akan basah kuyup juga. Sesampainya di rumah, aku ingat bahwa tidak ada orang. Ayah dan ibu pergi ke acara reuni. Sampai jam berapa? Delapan? Sembilan? Aku lupa bertanya.

Selesai aku mandi, aku merebahkan diri di atas ranjang sambil bermain ponsel. Aku membuka Instagram dan mencari nama Lucas Ellison. Tidak ada. Ada beberapa nama Lucas Ellison tapi mereka orang asing. Apa ada orang di jaman sekarang yang tidak punya Instagram? Lucas pasti adalah seorang kutu buku yang ketinggalan jaman. Aneh sekali. Atau mungkin aku tidak bisa menemukannya karena dia menggunakan nama alay? Apa kucoba cari di Facebook? Aku mengurungkan niat. Toh aku tidak mau menghubunginya hari ini. Lagipula kenapa harus aku yang menghubungi duluan?

Lelah bermain ponsel, aku pun memejamkan mata untuk sesaat. Tanpa sadar, aku malah ketiduran sampai pagi. Dan aku menyesal. Seharusnya aku melakukan hal lain yang lebih bermanfaat. Atau setidaknya, menunggu sampai ayah dan ibu pulang agar bisa melihat wajah mereka lebih lama. Karena ternyata, hari itu adalah hari normal terakhir dalam hidupku.

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang