7. Konflik

54 2 1
                                    

Aku menuju ke perpustakaan di lantai tiga. Kurasa membaca buku akan membantuku mengisi waktu dan melupakan dunia nyata yang mengerikan ini untuk sementara.

Aku memilih sembarang buku fiksi untuk kubaca dan larut dalam bacaanku selama beberapa jam berikutnya. Rasanya nyaman sekali membaca buku sambil mendengarkan iringan musik dari sentral, terlepas dari fakta bahwa aku sendirian di ruangan ini dan ada banyak mayat di lantai satu.

Tiba-tiba, musik dari sentral berhenti. Aku memejamkan mata sejenak untuk beristirahat, tapi aku teringat sesuatu. Aku membuka mata dan buru-buru keluar dari perpustakaan, berlari-lari kecil menuruni anak tangga dengan panik. Theia. Musik di sentral sudah berhenti, artinya kalau gadis itu teriak minta tolong, seseorang akan mendengarnya. Dan jika tadi dia melihat wajahku, maka dia akan bilang ke semua orang bahwa aku menguncinya. Aku merasa bersalah. Entah apa yang kupikirkan, bisa-bisanya aku menuruti perkataan July. Aku akan membuka kunci pintu toilet dan sembunyi sebelum Theia melihatku.

Aku berdiri di depan toilet lantai satu sambil masih terengah-engah. Suara Theia tidak terdengar. Aneh, seharusnya sekarang kesempatan untuk dia minta tolong. Aku semakin panik dan buru-buru membuka kunci, takut terjadi apa-apa padanya. Sebelum sempat aku sembunyi, Theia sudah membuka pintu dengan kasar. Mata kami bertemu. Theia menatapku dan kunci yang ada di tanganku secara bergantian, aku refleks menyembunyikannya. Kutarik tangan gadis itu dan kugiring memasuki ruang kelas terdekat. Aku tidak mau ada orang yang mendengar atau melihat kami. Saat situasi sudah aman, Theia mulai bicara.

"Apa yang kau pegang?"

"..."

"Kau bisu ya? Aku tanya sekali lagi, apa yang ada di tanganmu itu!?"

"Kunci.."

"Jadi kau yang mengunciku di toilet? Seharusnya aku tahu kalau tampang polosmu itu hanya topeng! Sini, ikut aku ke ruang guru!"

"Tunggu! Aku tidak bermaksud menguncimu!"

"Lalu!?"

"Seseorang menyuruhku."

"Siapa? Jangan bohong padaku ya, kau tahu apa yang bisa kulakukan pada ayahmu kalau kau bohong. Aku bisa menyuruh ayahku memecat ayahmu!"

"July.. July yang menyuruhku. Katanya kau sudah terkena virus dan membohongi kami."

"Yang benar saja? Kau tahu sendiri aku belum menunjukkan gejala apa-apa!"

"Jadi, kau juga makan siang di kantin hari itu?"

"..."

Aku tertawa.

"Kau sudah gila ya?"

"Memangnya di antara kita ada yang masih waras?"

"..."

"Kunci ini, jangan lapor ke siapa-siapa. Kalau kau lapor, aku akan bilang ke semuanya kalau kau juga terkena virus."

Dengan itu, lawan bicaraku kesal dan pergi meninggalkanku. Aku hanya mendengus kecil. Hidupku sudah berubah total, sampai dengan dua hari lalu aku tidak mungkin berani menggertak orang seperti itu. Semuanya sudah berubah, dengan cepat. Kuharap apapun yang terjadi dalam hidupku sekarang juga berakhir, dengan cepat.

"Arya,"

Aku kaget dan menoleh ke asal suara. L berdiri di belakangku, entah sejak kapan. Aku jarang bicara padanya, dan mendengarnya memanggil namaku membuatku merinding. "A-apa?" tanyaku. Suaraku terdengar serak.

"Barusan kau bicara pada siapa? Siapa yang terkena virus?"

"..."

"Kau tidak mau bilang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau tidak mau bilang?"

"Kenapa kau ada di sini?" Lebih tepatnya, sejak kapan dia di sini?

"Aku ada di kelas sebelah."

Aku menimbang-nimbang apa seharusnya aku memberitahu L atau tidak. Apa L bisa dipercaya?

"Theia.." jawabku akhirnya.

"Oh, aku sempat melihatnya batuk-batuk kemarin saat tidak sengaja melewati area loker perempuan di lantai tiga."

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Apa ini berarti teorimu salah? Theia tidak menunjukan gejala apapun selain batuk ringan, padahal kemarin lusa dia makan di kantin."

L mengangkat bahu. "Jangan percaya teoriku seratus persen. Aku cukup yakin penyebabnya adalah makanan di kantin, tapi aku tidak tahu kenapa Theia masih baik-baik saja. Kita lihat saja beberapa hari kedepan."

Aku diam saja. L terlihat hendak keluar dari kelas, tapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku.

"Ngomong-ngomong Arya, kau melihat buku catatanku di UKS?"

Ah, jadi benar buku yang kulihat tadi di UKS miliknya? Sepertinya terbawa olehku karena tadi aku panik. Aku kembali ke kelas di lantai dua untuk mengambil bukunya dan menyerahkannya kembali pada L.

"Terima kasih."

"Sama-sama. Kau suka matematika?"

"Lumayan, aku mengerjakan soal-soal matematika jika aku bosan."

Aku tidak membayangkan kemarin dia kabur ke UKS untuk mengerjakan soal-soal matematika, kurasa L cukup unik. Tunggu, L.. matematika... aku teringat seseorang.

"Nama lengkapmu Lucas Ellison?"

Kata-kataku barusan berhasil mendapat perhatiannya. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Aku tersenyum. "Jika situasinya berbeda, kurasa kita tidak akan bertemu dengan cara seperti ini."

Ternyata Lucas Ellison bukan seorang kutu buku ketinggalan jaman seperti yang kubayangkan. L terlihat dingin dan misterius.

"Apa maksudnya?" L tampak berpikir. "Ah, kau Arya Antoinette?"

"Ya, kita seharusnya ikut olimpiade matematika bersama bulan depan."

L tersenyum. Aku baru pertama kali melihatnya benar-benar tersenyum. Biasanya dia hanya memberikan senyuman sinis.

"Sayang sekali." Ujarnya. "Senang bertemu denganmu."

Kemudian Yohan mengetuk pintu kelas. "Ehm, apa aku mengganggu?"

"Tidak." Jawabku cepat. "Ada apa?"

"Arya, pak Hendra menyuruh kita ke ruang multimedia. Sepertinya untuk menjelaskan rencana ke minimarket besok."

"Oke." Lalu aku meninggalkan L sendirian.

"Apa yang kalian bicarakan?" Yohan bertanya.

"Tidak penting, ternyata kami adalah partner untuk olimpiade matematika yang akan datang."

Yohan mengangguk-angguk. "Aku tidak tahu ternyata L bisa diajak bicara baik-baik, dia selalu terdengar sok pintar."

Kami sampai di ruang multimedia dan mendengar pak Hendra berseru "Masuk!" dari dalam saat kami mengetuk pintu.

"Permisi, pak."

"Silahkan duduk." Ujar pria itu. "Kita langsung saja. Mengenai besok, kita akan berangkat ke minimarket jam enam sore. Karena kita akan pergi diam-diam, kita tidak boleh pergi saat hari terang karena akan mudah terlihat. Terlalu malam juga tidak baik karena nanti akan susah melihat jika ada polisi yang berpatroli. Mereka berpatroli dengan ketat selama dua puluh empat jam."

Pak Hendra lalu menyiapkan kertas dan pensil, dan mulai menggambar peta di atas kertas. "Sekolah kita ada di sini, dan minimarket yang kita tuju ada di dua blok di belakang sekolah. Kita akan mengambil jalan-jalan kecil. Dan jika kita melihat polisi di sini, kita akan belok ke gang ini."

Aku dan Yohan mendengarkan dengan saksama penjelasannya. Aku tahu minimarket yang dimaksud pak Hendra karena dekat dengan rumahku. Bahkan aku setiap hari melewatinya jika ke sekolah. Apa saat kami keluar nanti aku bisa kabur ke rumah? Aku perlu tahu keadaan ibu. Aku perlu tahu apakah keluargaku selamat atau tidak.

"Sekarang ini toko-toko ditutup. Kita akan masuk secara paksa dan mengambil bahan-bahan makanan, snack, makanan cepat saji, roti-roti, minuman, dan apapun yang kita lihat. Tapi kita tidak boleh lupa memeriksa tanggal kadaluarsanya. Besok kita harus keluar dengan hati-hati, semoga beruntung."

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang