3. Orang Asing

73 6 0
                                    

Sudah tujuh jam kami terjebak di sekolah. Kami tidak diperbolehkan keluar kecuali ke toilet. Lapangan pun semakin gelap karena langit di luar mendung dan tidak ada lagi cahaya yang masuk melalui jendela-jendela. Lampu di lapangan indoor sudah lama rusak dan tidak pernah diperbaiki. Entahlah, tapi suasana semakin lama semakin terasa mencekam.

Murid-murid yang tadinya menerobos keluar kembali ke lapangan dengan tampang putus asa. "Sampai kapan kami harus di sini?" Protes mereka.

"Tenang, kami sedang mencari solusinya. Sebelum ada aba-aba dari wali kota kalian harus tetap di sini." Pak Hendra yang menjawab.

"Yang benar saja? Kami terjebak di sekolah dan di luar sana terjadi entah apa!"

"Di luar sana tidak jauh berbeda, banyak orang yang juga terjebak dalam gedung. Ini demi keamanan bersama. Jasad korban-korban yang meninggal di bawah sudah dibawa oleh ambulans, tapi sebaiknya kalian tidak turun ke bawah dulu karena banyak darah berceceran. Saat ini petugas kebersihan sekolah masih berusaha membersihkan."

Mendengar kata jasad dan darah membuat perutku mual dan ingin muntah.

Pintu masuk tiba-tiba dibuka dan tiga orang petugas kebersihan yang disebut-sebut masuk ke lapangan.

"Anak-anak, ayo berkumpul. Kami punya pengumuman." Ujar Ms. Wahyu akhirnya.

Kami duduk membentuk lingkaran. Aku mengamati sekelilingku untuk mencari sosok yang mungkin kukenal. Mataku kemudian bertemu dengan Theia. Gadis itu tampak ketakutan dan tidak ada lagi Theia yang selalu memancarkan aura seorang ratu. Lebih tepatnya, semua orang di sini tampak ketakutan. Kemudian aku melihat ketua kelasku, July. Ah, lega sekali rasanya. Setidaknya aku menemukan dua sosok yang familiar. Selebihnya, aku tidak tahu. Mereka bisa saja adik kelas atau kakak kelas. Kami ber-dua puluh. Jika ditambah para guru dan petugas kebersihan, maka total ada tiga puluh orang.

"Berhubung situasi saat ini diluar kendali kami, kami minta semua murid bisa bekerja sama. Semua yang berada di lapangan sekarang ini adalah semua orang yang selamat dari tragedi ini."

Dengan perkataan Ms. Wahyu barusan, bisa kurasakan murid-murid lain ada yang mengumpat, menangis, berbisik-bisik satu sama lain, atau apapun itu. Yang pasti kami semua tercengang. Bagaimana bisa, sekolah yang berisi ratusan orang, hanya tersisa tiga puluh orang saja? Dan perumpamaan Ms. Wahyu sebagai tragedi memperburuk suasana.

"Semua ini terjadi dikatakan karena virus. Sampai sekarang belum diketahui apa penyebabnya dan bagaimana kita bisa tertular. Tapi satu yang pasti, penularan bukan melalui udara dan cairan dari korban. Karena kalau penularan melalui udara dan cairan, kita semua pasti sudah tertular."

Aku memegang noda darah di rok-ku yang sudah benar-benar mengering dan kecokelatan. Perutku kembali mual.

"Untuk mengisi waktu, kami mohon para murid bekerja sama untuk membersihkan lantai satu dan dua. Tentu kami para guru dan petugas kebersihan juga akan membantu. Satu lantai akan terdiri dari lima belas orang. Kita bersihkan lorong dan kelas-kelas. Tentu kita tidak mau berada di lantai tiga terus bukan? Dan apa kalian nyaman jika turun ke bawah melihat banyak darah?"

Yang benar saja? Turun ke lantai bawah dan membersihkan bekas-bekas darah? Di saat-saat seperti ini? Kami sudah cukup ketakutan. Kembali ke bawah akan membuatku teringat kejadian absurd pagi ini dan kurasa aku bisa trauma.

Ms. Wahyu dan pak Hendra berusaha keras menenangkan murid-murid yang tidak setuju. "Kita juga butuh memakai fasilitas yang ada di bawah. Kalau tidak dibersihkan apa kalian tidak merasa ngeri? Kita tidak bisa berada di lapangan indoor sampai malam, di sini terlalu gelap dan pengap."

Beberapa murid mulai mengangguk-angguk setuju.

"Untuk makanan, ada sisa bahan makanan yang cukup di kantin. Kira-kira bisa untuk satu minggu. Untuk alat-alat mandi seperti sikat gigi dan sabun, tersedia di UKS tidak banyak. Kalian bisa gantian menggunakannya. Untuk alas tidur kita bisa memakai matras-matras yang ada di gudang olahraga."

Sial, apa aku harus bergantian memakai sikat gigi yang sama dengan orang-orang asing ini? Aku sungguh berharap ini semua hanya mimpi.

"Baiklah, sekarang semua berdiri. Sepuluh murid turun ke lantai satu, sepuluh sisanya ke lantai dua. Alat bersih-bersih sudah disediakan, tolong bantuannya."

Aku berdiri dan turun ke lantai dua. Kuputuskan untuk bersih-bersih di lantai ini karena kelasku berada di sini. Aku harus mengambil ponselku dan menghubungi ibu.

Aku masuk ke kelasku dan buru-buru mengambil tas dan ponselku. Kunyalakan benda itu, ada lima missed call dan satu pesan masuk dari ibu.

Kau tidak apa-apa? Ayah tidak bisa dihubungi. Tunggu di sekolah.

Aku buru-buru menelepon ibu, tapi tidak tersambung. Aku mengetik pesan balasan ke ibu dengan was-was. Kenapa ibu tidak menjawab telepon? Aku mengirim pesan juga ke ayah untuk jaga-jaga.

"Arya?"

July.

"Astaga Arya, senang sekali melihat wajahmu!" Dia memelukku. Aku balas memeluknya. Kami tidak pernah dekat, tapi sekarang aku merasa senang sekali ada orang yang bisa kuajak bicara.

"Hari ini gila sekali." Ujarnya.

"Kau sudah menghubungi keluargamu?" Tanyaku.

"Sudah. Ayah dan ibuku menyuruh tetap tenang dan berada di sini agar aman. Aman dari apa coba? Kenapa?"

Aku tidak punya jawaban atas pertanyaannya. Itulah yang harus kami cari tahu.

"Bagaimana dengan keluargamu?"

"Aku tidak bisa menghubungi keduanya."

July hanya diam dan menatapku iba. Apa maksud tatapannya? Apa jangan-jangan dia berpikir ayah ibuku sudah meninggal? Aku tidak ingin berpikir begitu. Kucoba menelepon ibu sekali lagi. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif..."

"Masih tidak bisa dihubungi?"

Aku mengangguk.

"Semoga tidak terjadi apa-apa."

Ya, semoga.

Detik berikutnya aku dan July mulai bersih-bersih. Kami mengangkat meja-meja dan kursi-kursi yang terjatuh, kemudian aku mengepel bercak-bercak darah yang mengering di lantai sementara July mengelap semua perabot. Hebatnya perutku sudah tidak mual melihat pemandangan ini. Mungkin karena hari ini aku sudah melihat terlalu banyak darah. Aku mendengus, secepat itukah aku beradaptasi dengan situasi ini?

 Aku mendengus, secepat itukah aku beradaptasi dengan situasi ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiba-tiba terdengar suara pak Hendra dari sentral. "Kantin sudah selesai dibersihkan dan makanan sudah disiapkan, bagi yang ingin makan bisa istirahat terlebih dulu."

"Kau mau makan sekarang?" Tanya July.

"Hmm, nanti saja." Aku sama sekali tidak punya nafsu makan. Padahal terakhir kali aku makan saat sarapan tadi pagi, itupun hanya semangkuk sereal dan apel.

"Oke. Kita berpencar, aku akan membantu anak lain di kelas sebelah dulu."

Sepeninggal July, aku mengamati kelas yang baru selesai kubersihkan. Semuanya hampir tampak normal dan baik-baik saja. Tapi, sayang sekali kenyataan yang sebenarnya tidak begitu.

Aku meninggalkan peralatan bersih-bersihku, lalu menuju ke rooftop. Aku butuh udara segar.

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang