14. Perpisahan

45 2 0
                                    

Pak Hendra terbaring tak sadarkan diri, sementara L memegang tongkat kayu di tangannya. Apa L memukul pak Hendra dengan tongkat itu? Aku tidak yakin apa yang terjadi tapi apapun itu, aku lega sekali melihat wajah L!

"Ayo! Ini hanya akan membuatnya pingsan! Kita harus cepat keluar dari sini sebelum pak Hendra bangun." L mengulangi perkataannya dan melempar tongkatnya ke tanah. Aku dan Yohan pun keluar dari gudang dan mengikuti L berlari ke arah pintu gerbang belakang.

"Kenapa kau bisa ada di sini? Bagaimana dengan yang lain?" Tanya Yohan.

"Panjang ceritanya. Saat kita keluar dari sini akan kuceritakan."

"July.. Elsa.. bukankah kita harus menyelamatkan mereka?" Ujarku.

"Tidak ada waktu untuk itu, kita tidak tahu mereka selamat atau tidak. Sekarang kita kabur dulu mencari pertolongan."

Aku menatap Yohan berharap dia sependapat denganku. Yang benar saja? Bagaimana kalau July dan Elsa masih hidup dan dalam bahaya?

"L benar, kita cari pertolongan dulu. Kembali ke sana terlalu beresiko."

Setelah itu L membuka gembok pintu gerbang dengan mudah. Gembok itu terlihat sudah dirusak sebelumnya, dan begitu L membuka pintu, kami lari tanpa menengok ke belakang. Hujan yang masih turun dengan derasnya tidak menghalangi kami untuk terus berlari sampai menemukan seoarang pak polisi yang bertugas di dekat daerah kami.

"Sedang apa kalian!?" Ujar pak polisi itu.

"Tolong kami pak, ada yang ingin membunuh kami!" Seru Yohan.

Pak polisi itu hanya melihat bergantian ke arah kami, lalu mengeluarkan walkie talkie-nya untuk berbicara pada seseorang. Kemudian kami disuruh naik ke mobil polisi, entah akan dibawa ke mana.

"Jadi guru-guru di sekolah kalian termasuk dalam komunitas sialan yang menghancurkan seluruh kota?" Ujar pak polisi yang tadi sambil mengemudikan mobil.

"Kalian sudah tahu tentang komunitas itu?" Tanya Yohan.

"Bukankah sudah diberitakan di TV? Sebagian telah tertangkap."

TV? Ah.. kurasa itulah kenapa mereka memadamkan listrik di sekolah. Mereka sudah ketahuan, dan mereka ingin mencegah kami untuk tahu dengan alasan itu. Keterlaluan, kami dibodohi sampai segitunya.

"Jadi kalian terjebak di sekolah dengan para psikopat itu selama enam hari?"

Kami mengangguk lagi.

"Hanya tersisa kalian?"

Aku dan Yohan menoleh ke arah L.

"Ada dua orang lagi, mereka.. sepertinya masih terjebak."

Pak polisi itu kembali mengeluarkan walkie talkie-nya dan menyuruh beberapa polisi lainnya untuk memeriksa sekolah kami. Sementara itu, dia membawa kami ke sebuah gedung rumah sakit yang rupanya dijadikan pusat karantina. Gedung ini berisi orang-orang yang masih selamat atau yang sedang dalam pantauan.

"Kalian tinggal di sini dulu dan menunggu jadwal pemeriksaan. Setelah kalian dianyatakan sehat kalian bisa kembali pulang. Kami akan memberi kabar lebih lanjut mengenai teman-teman kalian yang masih terjebak di sekolah." Ujar pak polisi yang lalu meninggalkan kami bertiga di ruang pemeriksaan.

"Jadi, kau meninggalkan July dan Elsa di kantin begitu saja?" Tanya Yohan pada L dengan nada menyindir saat hanya ada kami saja di dalam ruangan.

"Tidak. Aku mengikuti Arya karena aku khawatir terjadi apa-apa. Aku tidak menyangka Ms. Wahyu dan pak Eric juga bersekongkol dengan pak Hendra. Aku menguping pembicaraan kalian di lab kimia, lalu aku pergi ke pintu gerbang belakang untuk merusak gemboknya."

"Kau berencana kabur seorang diri?"

"Bukankah aku menyelamatkan kalian? Aku tahu kalian sembunyi di sana karena aku ada di halaman belakang bahkan sebelum kalian sembunyi di gudang. Begitu mendengar pak Hendra menemukan kalian aku memukul kepalanya dari belakang."

Ah, itu menjelaskan kenapa saat kami bersembunyi di gudang terdengar suara berisik dari luar. Rupanya itu suara L yang mencoba merusak gembok pintu.

"Lucas Ellison." Terdengar suster yang bertugas memanggil L untuk menjalani pemeriksaan.

Yohan mendengus. "Jadi itu nama aslinya?"

Aku mengangguk.

"Aku heran kenapa dia tidak mau menyebutkan nama aslinya dan sok misterius."

"Kau bisa berterimakasih sedikit tidak? Kalau bukan karena L, kita tidak akan selamat."

Yohan diam saja.

Satu-persatu dari kami dipanggil untuk menjalani pemeriksaan. Dua jam kemudian, kami dinyatakan sehat dan boleh pulang ke rumah masing-masing dengan perbekalan makanan. Sepertinya situasi kota juga sudah mulai membaik. Karena kami terlalu lama terjebak di sekolah, kami bahkan tidak menyadari hal ini. Jika tahu dari awal, sudah pasti aku akan kabur.

"Kau pulang ke rumah?" Tanya Yohan.

"Ya, aku harus tahu keadaan orangtuaku."

"Bagaimana denganmu?" Kali ini Yohan bertanya ke L.

"Pamanku akan menjemputku di sini."

"Orangtuamu?"

"Mereka tidak selamat."

Aku menghela nafas. Bagaimana kalau orangtuaku juga menjadi korban? Polisi bilang aku harus bersabar menunggu konfirmasi identitas orangtuaku. Korban yang meninggal memang luar biasa banyak. Bagaimana tidak, sumber dari semua ini berasal dari makanan yang beracun. Sedih sekali membayangkan orang-orang yang selamat harus beradaptasi menjalani kehidupan yang berbeda setelah ini.

Aku dan Yohan meninggalkan L sendirian di pusat karantina karena kami sudah harus pulang ke rumah masing-masing dengan shuttle bus rumah sakit. Meskipun hanya sebentar mengenal L, kami telah menghabiskan waktu-waktu sulit selama enam hari ini. Aku cukup sedih berpisah dengannya. Setelah ini bisa saja kami tidak akan bertemu lagi. Kudengar beberapa sekolah akan dirubuhkan, dan hanya sekolah-sekolah terpilih yang gedungnya akan dipakai. Apa kami akan satu sekolah lagi?

Aku turun duluan saat bus berhenti di area perumahanku. Aku tersenyum pada Yohan dan dia melambaikan tangannya padaku. "Sampai jumpa lagi." Katanya.

Saat aku sampai di rumah, aku menghempaskan diri di sofa dan mengistirahatkan badanku. Akhirnya semua ini berakhir. Aku mengamati seisi rumah yang kosong melompong dan dadaku sesak membayangkan bahwa sepertinya rumah ini akan terus begini mulai dari sekarang.

TV.. TV.. aku harus memastikan teman-teman dan keluargaku selamat! Aku beranjak dari sofa dan menyalakan TV. Semua saluran hanya memutar berita yang sama. Untuk pertama kalinya, aku mendengarkan berita dengan saksama.

"Tiga orang PIC di sekolah Karunia berhasil ditangkap. Pelaku adalah Hendra (40), Eric (28), dan Wahyu (32). Bersamaan dengan itu, ditemukan korban selamat yang disekap di sekolah. Korban bernama July (17) dan Elsa (16). Tiga korban selamat lainnya yang bernama Arya (17), Yohan (18) dan Lucas (18) berhasil kabur."

Mendengar itu, aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya July dan Elsa selamat, dan pak Hendra beserta yang lainnya tertangkap. Aku harap manusia-manusia keji itu mendapat hukuman yang setimpal dengan kekacauan yang mereka perbuat.

Aku menyalakan shower untuk mandi dan kurasakan pancuran air hangat dari shower membuat sekujur tubuhku lebih rileks. Sudah lama aku tidak mandi dengan nyaman seperti ini. Enam hari ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak kunjung selesai. Aku juga menyempatkan diri untuk keramas dan saat aku keluar dari kamar mandi, kutatap layar ponselku yang menunjukkan baterai telah terisi penuh.

Tiba-tiba ada pesan masuk.

Update nama-nama korban yang identitasnya telah terkonfirmasi:
1. .....
2. ......
3. ......

Aku mencari nama ayah dan ibu dengan was-was. Saat kulihat nama mereka ada di daftar, aku terduduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Selamat tinggal ayah, ibu.

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang