"Saya tidak mau tau, utang sampeyan harus segera dilunasi kalau mau hidup tenang. Saya sudah ke sini hampir setiap hari, tapi sampeyan terus saja berkelit. Saya juga sebenarnya ndak mau tiap hari bolak-balik ke sini. Tapi ini soal kelangsungan hidup orang banyak, bukan cuma hidup keluarga sampeyan saja. Saya kerja begini juga karena tuntutan menghidupi keluarga. Sampeyan kan tau sendiri jaman sekarang ini susah sekali cari pekerjaan. Tolonglah pengertiannya, saya hanya menjalankan perintah dari atasan."
"Enggih, saya tahu Mas. Ya tapi kalau sekarang ini saya benar-benar belum ada uang. Saya mohon diberi kelonggaran waktu sekali lagi. Saya pasti akan melunasi hutang saya."
Suasana di ruang tamu sederhana itu dipenuhi ketegangan. Saat si empunya rumah terus saja meminta diberikan kelonggaran untuk menyelesaikan kewajibannya. Ini sudah kesekian kalinya ia memohon pada orang yang sama.
Di samping ruang tamu, yaitu sebuah kamar tidur, seorang wanita paruh baya duduk di atas dipan ditemani putri sulungnya yang beranjak dewasa. Tangan rampingnya tak berhenti memijat pundak Ibunya.
"Bu, sekarang Kinan tahu apa yang membuat Ibu semakin hari semakin kurus begini. Ibu sampai nggak selera makan. Kesehatan Ibu juga semakin hari semakin menurun. Ibu pasti kepikiran soal hutang itu kan?"
Wanita paruh baya yang dipanggil Ibu oleh putri sulungnya itu tersenyum lemah. Berusaha menepis asumsi yang diberikan oleh Kinanti, putrinya. Namun itu tidak berarti apa-apa, karena tidak bisa menutupi kenyataan yang dibicarakan oleh Kinanti.
"Ibu ndak apa-apa, Nduk. Ibu cuma kecapekan aja akhir-akhir ini. Jahitan lagi menumpuk, sedangkan sebentar lagi tahun ajaran baru. Banyak tetangga yang jahit baju seragam di tempat Ibu. Ibu cuma sedikit kelelahan, nanti juga sembuh sendiri."
Wanita paruh baya itu tidak berbohong. Akhir-akhir ini usaha jahit rumahannya memang sedang ramai pelanggan yang didominasi oleh tetangga sekitar rumah yang ingin menjahitkan baju seragam sekolah anak-anak mereka. Sementara sang kepala keluarga rumah itu bekerja sebagai buruh serabutan yang setiap hari bekerja di sekitar rumah mereka. Terkadang bekerja di sawah para tetangga, terkadang ada yang memintanya untuk membangun rumah atau bangunan. Semua pekerjaan itu selalu diterima dengan senang hati olehnya.
"Bu, kenapa sih Ibu terus-terusan seperti ini. Menganggap seolah Kinan ini masih anak kecil yang tidak boleh tahu masalah keluarga kita. Lagian buat apa sih Bu, Bapak harus berhutang sebanyak itu?"
"Lho bagi Ibu, kamu ini kan memang masih putri kecilnya Ibu. Bukan cuma kamu, Ranti juga bagi Ibu masih kecil walaupun umur kalian sudah di atas 10 tahun semua."
Rasyidah, wanita paruh baya itu masih berusaha tersenyum mengalihkan pembicaraan Kinanti.
"Alah.. Ibu ini, Kinan tuh bicara serius sama Ibu lho. Iya, Kinan sama Ranti juga maunya jadi putri kecilnya Ibu terus. Yang selalu dimanja sama Ibu setiap hari. Tapi kan nggak mungkin toh, Kinan diam saja saat keluarga kita punya masalah sebesar ini. Jangan mengalihkan pembicaraan lah, Bu. Buat apa sih hutang sebanyak itu sebenarnya?"
Kepala Kinanti sudah dipenuhi oleh asumsi-asumsi buruk tentang untuk apa orangtuanya sampai harus berhutang sebanyak itu.
Rasyidah menghela napasnya berat. Ia merasakan tangan Kinan yang bertengger di kedua bahunya. Sudah berhenti memijat seperti tadi. Tangan kanannya meraih tangan kanan Kinanti. Mungkin memang sudah saatnya, Kinanti tahu masalah yang keluarga mereka hadapi.
"Ibu juga bingung bagaimana mau jawab pertanyaan kamu. Bagi Ibu dan Bapak, biarlah masalah ini menjadi masalah orang tua saja. Kalian tidak perlu ikut memikirkannya. Tapi kali ini mungkin memang sudah saatnya kamu tahu. Kamu masih ingat beberapa tahun yang lalu Ranti pernah kecelakaan sewaktu kamu masih sekolah?"
"Iya, Kinan masih ingat. Apa hubungannya?"
"Waktu itu keadaan Ranti sangat parah. Dia jadi korban tabrak lari di depan sekolahnya. Yang kamu tahu pasti Ranti tidak separah itu kan? Waktu itu kamu sedang ditugaskan untuk diklat di Jogja dan harus tinggal beberapa waktu. Bapak dan Ibu memilih untuk tidak mengabari kamu, supaya kamu tetap fokus menyelesaikan tugasmu di sana. Jadi, kamu tidak tahu keadaan yang sebenarnya seperti apa. Dia sampai kehilangan banyak darah, bahkan sampai koma selama 5 hari. Biaya rumah sakit yang dibutuhkan tidak sedikit. Tabungan kita mana cukup untuk membayar biaya operasi dan rawat inap selama hampir 2 minggu. Ya jadi waktu itu Bapak dan Ibu harus kesana-kemari mencari pinjaman untuk biaya pengobatan adikmu."
Kinanti baru tahu kenyataan sulit di masa lalu yang pernah dihadapi keluarga kecilnya. Waktu itu dia memang sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas dari sekolahnya untuk mengikuti diklat olimpiade di provinsi selama satu bulan lamanya. Ketika dia pulang ke rumahnya, keadaan Kiranti sudah lebih baik dan kembali normal. Kinanti pikir adiknya tidak sampai separah itu.
"Kenapa Bapak sama Ibu nggak pernah cerita sama Kinan? Kinan tahu mungkin Kinan nggak bisa bantu apa-apa. Tapi masalahnya sebesar itu dan Bapak sama Ibu nggak kasih tahu Kinan. Apa sebegitu nggak berharganya Kinan di mata kalian?"
Sedikit banyak Kinan merasa kecewa mendengar hal ini. Tapi dia lekas mengendalikan dirinya agar tetap tenang. Karena bagaimanapun masalah ini sudah berlalu dan sekarang menimbulkan masalah baru yang seharusnya mereka selesaikan bersama.
"Maafkan Bapak sama Ibu, Nduk. Kami pikir kamu tidak perlu ikut pusing memikirkan masalah ini. Biarlah ini menjadi masalah Ibu dan Bapak saja. Kamu dan Kinan tidak perlu ikut memikirkan."
Kinanti menghembuskan napas kasar. Dia butuh menenangkan diri jika sudah seperti ini.
"Kinan pamit keluar dulu, Bu. Mau cari angin."
Ia berlalu dari kamar Ibunya, memilih berjalan kaki melewati ruang tamu yang sudah kosong. Mungkin orang yang berbicara dengan ayahnya tadi sudah pergi dari rumahnya. Nugroho, Ayahnya juga sudah tidak ada di sana. Mungkin sudah kembali bekerja di rumah tetangganya. Ia memilih berkunjung ke rumah Atika, teman masa kecil sekaligus tetangganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMFORT ZONE
ChickLitKinanti terpaksa merantau jauh-jauh dari Jogja menuju Jakarta demi membantu perekonomian keluarganya. Ia baru mengetahui jika keluarganya terlilit hutang yang cukup besar. Rupanya hal itu merupakan bagian dari takdir yang menuntunnya pada seorang L...