Sagara kini duduk di sebuah kursi tunggu dekat resepsionis. Dirinya tengah menunggu Kinanti memasukkan lamaran. Telinganya menangkap suara bisik-bisik dua perempuan yang sepertinya bekerja sebagai resepsionis di perusahaan tersebut. Sayup-sayup Sagara mendengar mereka sedang mengomentari penampilannya sambil sesekali melirik ke arah duduknya. Sagara memang sendirian duduk di tempat itu. Mungkin penampipan Sagara saat ini memang menarik untuk dijadikan bahan tertawaan. Sagara mengendikan bahu acuh. Dia tidak peduli sama sekali.
"Gimana?"
Sagara beranjak dari duduknya ketika dirinya melihat Kinanti keluar dari salah satu ruangan di dalam kantor.
"Disuruh nunggu panggilan, Mas. Tadi cuma ngumpulin berkasnya tok. Yang daftar banyak banget soalnya. Duh.. Kinan jadi pesimis kalo begini caranya."
"Lah.. Ini baru tempat pertama, Nan. Tadi perasaan kamu nggak sarapan pake kangkung kan?"
"Eh.. kok jadi kangkung sih, Mas?"
"Habisnya masih jam segini tapi kamu udah lemes loyo gini. Ayo dong semangat!"
"Hahaha.. Mas Elang bisa aja. Iya deh.. Kinan masih semangat kok."
"Nah gitu, dong."
Sagara yang kelepasan hendak melayangkan usapan pada puncak kepala Kinanti, kini menahan tangan kanannya di udara. Dia merasa belum sedekat itu untuk melakukannya. Kinanti dibuat mematung menyaksikan tingkah Sagara, sementara Sagara malah membelokkan tangannya untuk menggaruk tengkuknya sendiri yang tidak gatal.
Dua resepsionis tadi masih berbisik-bisik melihat interaksi antara Sagara dan Kinanti. Sungguh mungkin penampilan dan tingkah mereka berdua memang sangat menarik untuk dijadikan bahan bergosip. Sama-sama ndeso. Kinanti pun merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Sagara tadi. Namun dirinya juga tidak peduli mengenai komentar orang lain tentang penampilannya.
"Ya udah, ayo lanjut lagi."
Sagara mengajak Kinanti keluar dari perusahaan percetakan itu untuk kemudian menuju ke perusahaan selanjutnya.
Perusahaan kedua yaitu PT. Beton Makmur, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penyediaan bahan bangunan. Perusahaan itu sedang mengalami kekosongan untuk posisi customer service. Untuk menuju ke sana, Sagara dan Kinanti hanya menempuh perjalanan sekitar 5 menit dari perusahaan pertama.
Sama seperti sebelumnya, Kinanti yang hendak memasukkan lamaran langsung keluar begitu berkas-berkasnya ia kumpulkan ke bagian HRD. Kali ini pelamarnya belum sebanyak perusahaan pertama.
"Masih disuruh nunggu panggilan lagi kayak tadi?"
"Iya, Mas."
"Yah.. Kusut lagi itu mukanya. Ayo dong semangat. Jangan-jangan kamu udah laper lagi ya?"
"Eh.. Enggak kok. Kinan masih semangat ini."
Kinanti menarik kedua sudut bibirnya. Membuktikan pada Sagara bahwa ia masih memiliki semangat untuk mencari pekerjaan.
Dalam hatinya, Kinanti sebetulnya ragu pada diri sendiri. Melihat orang-orang yang tadi memasukkan lamaran bersama dirinya, ia merasa sadar diri jika kualifikasinya terlalu rendah jika dibandingkan dengan mereka. Namun sebisa mungkin Kinanti mengenyahkan perasaan pesimis itu.
Kini mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan ke tiga. Jam menunjukkan pukul 10.30. Sinar matahari sudah hampir terik. Kinanti merasa sedikit kepanasan ketika membonceng Sagara. Tangannya bergerak menarik kaca helm untuk menghalangi panas yang membakar kulit wajahnya. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Kaca helm kan transparan. Tangan kanan gadis itu mengipas-ngipas wajahnya dengan map yang masih berisi satu berkas lamaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMFORT ZONE
ChickLitKinanti terpaksa merantau jauh-jauh dari Jogja menuju Jakarta demi membantu perekonomian keluarganya. Ia baru mengetahui jika keluarganya terlilit hutang yang cukup besar. Rupanya hal itu merupakan bagian dari takdir yang menuntunnya pada seorang L...