Hari ini---Rabu, tercetak dengan tinta warna merah pada deretan angka kalender. Otomatis semua aktivitas perekonomian dihentikan sementara. Ah, ini pertama kali Kinanti mendapat jatah libur di luar hari Minggu. Pagi ini ia memulai hari liburnya dengan menunggu kedatangan Mang Didik, tukang bubur keliling langganan penghuni kost yang saban hari berkeliling melewati depan indekos setiap jam 6 pagi. Gadis itu tampak duduk sendirian pada kursi panjang teras dengan sebuah mangkuk plastik kosong di pangkuan.
Kinanti menghela napas pelan dengan pandangan terfokus pada layar ponsel digenggamannya. Dari kemarin terdapat puluhan notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya, namun tak ada satupun yang berasal dari Sagara---Mas Elang-nya. Hatinya diliputi oleh kabut penasaran yang begitu pekat.
Vina duduk bergabung beberapa saat kemudian. "Mang Didik udah lewat, Nan?"
"Belum, Mbak Vin. Masih di ujung gang kayaknya," jawab Kinanti masih terus fokus pada layar ponselnya.
Vina menepuk pelan bahu Kinanti, menyadari jika gadis itu tampak duduk gelisah di tempatnya. "Lo kenapa?"
Kinanti menoleh lantas tersenyum pada Vina, berusaha menyamarkan kegelisahannya. "Nggak apa-apa, Mbak Vin."
"Oh... Nggak apa-apa...." Vina terlihat mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Gadis itu melebarkan senyum sebelum kembali melontarkan pertanyaan pada Kinanti dengan nada menggoda. "Beneran ... nggak apa-apa?"
"Apa sih, Mbak Vin...," jawab Kinanti tampak tak terpengaruh dengan pertanyaan Vina.
Vina masih tersenyum sambil menaik-turunkan kedua alisnya. "Rindu ya?"
"Iya ... Mbak," Kinanti menundukkan kepalanya, "Kinan rindu keluarga di kampung."
Vina mendengkus pelan, merasa gagal mendapat jawaban yang semestinya dari raut gelisah Kinanti. Sebagai sesama perempuan, ia paham betul alasan yang mendasari kegelisahan gadis itu akhir-akhir ini. Siapa lagi kalau bukan Mas Adam KW yang belakangan ini mendadak menghilang bagai ditelan bumi.
Sayup-sayup terdengar suara dentingan mangkuk yang dipukul dengan sendok mendekat ke arah mereka. Beberapa penghuni kost yang lain tampak keluar dari dalam rumah sambil membawa tempat makan masing-masing. Sebelum beranjak dari duduknya, Vina tersenyum misterius pada Kinanti. "Kalo rindu ya dicari, jangan dibiarin pergi."
***Mau tidak mau, Kinanti dipaksa untuk memikirkan kalimat absurd yang dilontarkan Vina tadi. Bahkan sedari tadi gadis itu terus mondar-mandir di dalam kamar indekosnya. Salahkan sifat pemikir yang melekat kuat pada dirinya. Ia tidak bisa hidup dengan tenang jika terdapat hal tidak wajar yang mengusik hidupnya.
Dimulai dari menghilangnya Erlangga hingga tak ada satupun kabar yang pria itu kirimkan. Semua itu terasa menganggu. Setidaknya untuk saat ini cukup mengganggu pikiran dan hatinya. Membuat dirinya sendiri diliputi oleh rasa asing semacam khawatir---entahlah, mungkin dapat disebut begitu.
Kinanti merasa harus segera berbuat sesuatu. Tapi ia bingung mau memulainya dari mana. Apa hal pertama yang harus ia kerjakan?
Setelah beekutat dengan dewi batinnya, Kinanti berniat untuk mencari keberadaan Mas Elang-nya. Ah, untungnya hari ini tanggal merah. Jadi ia punya waktu untuk merealisasikan niatnya
Kinanti bergegas membersihkan diri dan bersiap. Ia keluar dari indekos dengan stelan sederhana yaitu, skinny jeans yang dipadukan dengan atasan kemeja flanel. Ia masih setia dengan ikat ekor kuda untuk rambutnya.
Tidak banyak informasi yang gadis itu ketahui tentang kehidupan Erlangga. Namun, setidaknya ada satu hal yang dapat ia jadikan bekal untuk menelusuri keberadaan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMFORT ZONE
ChickLitKinanti terpaksa merantau jauh-jauh dari Jogja menuju Jakarta demi membantu perekonomian keluarganya. Ia baru mengetahui jika keluarganya terlilit hutang yang cukup besar. Rupanya hal itu merupakan bagian dari takdir yang menuntunnya pada seorang L...